Kamis, 31 Desember 2009

Pertahankan Tari Tradisional dari Terpaan Modernisasi

(04 May 2008, 516 x , Komentar) Oleh: Hj St Sufaidahnur Joesoef Madjid SE (Ketua Yayasan Anging Mammiri (Yama) Sulsel)

PERKEMBANGAN teknologi dan informasi nampaknya telah menjadi lawan dari dunia seni tradisional di Sulsel. Dalam kondisi ini, sedikit demi sedikit, modernisasi telah mengikis dan menggeser seni tradisional yang ada.
Bahkan, hamppir seluruh jenis seni tradisional sudah mulai tergeser sehingga untuk mempertahankannya agar tetap eksis menjadi pekerjaan yang tidak gampang. Seperti seni musik tradisional, tari tradisional juga sudah mulai terlupakan.

Padahal, baik musik dan tari ini merupakan bagian perekat budaya masyarakat di Sulsel dan Makassar. Dalam mempertahankannya, tentu saja dibutuhkan ekstra perhatian yang tidak kecil, seperti yang dilakukan Yayasan Anging Mammiri (Yama) yang dalam bulan ini telah berumur 44 tahun.

Bagaimana Yama bisa tetap eksis mempertahankan seni budaya dan tari tradisional, berikut petikan wawancara ketuanya, Hj St Sufaidahnur Joesoef Madjid SE yang akrab dipanggil Iin kepada wartawan Fajar, Yulhaidir Ibrahim di kediamannya, Kamis, 1 Mei lalu.

Yama boleh dikata merupakan kelompok tari tertua di Sulsel. Bisa menceritakan sedikit bagaimana terbentuknya Yama ini?

Yama merupakan Yayasan Pendidikan Kesenian Anging Mammiri Sulsel. Yayasan ini telah berdiri sejak 27 Mei 1964 atau 44 tahun silam. Pendirinya adalah Gubernur Sulsel pada waktu itu, HAA Rifai bersama ayah saya, Drs HM Joesoef Madjid dan Drs A Tunru.

Mereka ini sepakat membentuk yayasan ini karena kepedulian yang tinggi terhadap dunia seni, utamanaya musik dan tari. Bahkan, karena begitu pedulinya, pak gubernur sendiri kabarnya menyumbangkan lima stel perhiasan penari yang lengkap. Tentu saja, di kala itu, membutuhkan biaya yang cukup besar untuk bisa melakukan hal itu.

Pada waktu itu, para penari Yama sendiri terdiri dari keluarga-keluarga bangsawan yang memang banyak mengerti mengenai tari, nyanyi, dan musik. Namun untuk mempertahankan dan menambah anggota, maka muridnya mulai datang dari masyarakat umum yang punya kepedulian dan bakat seni.

Apa tujuan didirikannya yayasan ini?

Tujuannya pendirian yayasan ini sangat sederhana. Para pendiri bertekad agar yayasan ini mampu menghimpun dan membina putra putri yang berbakat seni. Memelihara serta menggali seni budaya di Sulsel dan melahirkan kader-kader pemimpin organisasi kesenian.

Karena keuletan dan telah menjadi hobi, maka yayasan ini mampu berdiri hingga sekarang, serta telah melahirkan sedikitnya 3.615 alumni. Karena tak ingin alumninya terlupakan, maka kemudian dibentuk pula IKA Yama yang menjadi tempat berkumpulnya mantan murid, penyanyi, pemusik, dan penari Yama.

Pada saat itu, siapa yang menjadi ketua?

Waktu itu, ibu saya, almarhumah Ida Joesoef Madjid yang memegang peranan pimpinan dan memenej seluruh kegiatan Yama. Sejak saat itu, Yama telah berkiprah mulai di level regional hingga ke luar negeri.

Tentu saja ini menjadi kebanggaan kami. Saya sendiri sejak berumur lima tahun sudah diajak keluar negeri untuk ikut menari dan menyaksikan bagaimana Yama mengisi even kebudayaan, hingga saat ini saya menjadi ketua.

Dengan usia 44 tahun untuk bertahan, tentu saja membutuhkan perhatian yang tidak sedikit. Bagaimana Yama mampu bertahan selama ini?

Pada usia seperti ini, tentu saja perhatian yang tercurah tidak sedikit. Dari keluarga kami saja, khusus ibu dan ayah saya yang memang hobi dengan kesenian ini telah meluangkan waktu yang tidak sedikit.

Bahkan, mereka berani menanamkan investasi yang tidak sedikit untuk membangun sanggar dan studio tari dengan memiliki fasilitas yang cukup sehingga para muridnya selalu betah dan tekun belajar.

Di keluarga, saya anak ketiga dari empat bersaudara. Walaupun semuanya memiliki bakat seni yang berbeda hingga pekerjaan kami sampai sekarang semuanya terkait bidang seni,

namun saya melihat bahwa “warisan” yang ditinggalkan kedua orangtua saya untuk mempertahankan yayasan ini sangat besar sehingga akan sia-sia jika tidak dilanjutkan dan diperhatikan.

Makanya, sejak mengambil alih seluruh kepemimpinan di yayasan ini pada tahun 1991, saya berupaya untuk mempertahankan keberadaan sanggar tersebut dan melanjutkan pada pengkaderan dan penciptaan kreasi-kreasi baru.

Patut menjadi kebanggan, Yama dikenal sangat kuat mempertahankan seni tradisional. Mengapa Anda tidak mengikuti globalisasi dengan “memoderenkan” yayasan ini?

Seperti tujuan kami dan pesan dari orangtua, kami tidak ingin seni tradisional menjadi kabur dan bahkan hilang. Meski kami akui sangat berat bertahan dengan kondisi keuangan yang tidak begitu menghasilkan, namun saya selalu berkomitmen, apapun, jika ingin menampilkan Yama harus selalu memiliki ciri budaya tradisional yang kuat.

Karena keunikan seperti inilah yang membuat Yama dapat tetap eksis dan selalu mendapatkan job. Apalagi, dalam setiap pertunjukan, kami selalu menonjolkan tarian adat masyarakat.

Meski begitu, saya juga beberapa kali menciptakan kreasi modern. Namun dalam pementasan, meski pertunjukannya harus menampilkan seni modern, saya tetap mengisi dengan seni tradisional yang berakar sehingga ciri tradisionalnya tetap ada.

Bahkan, saya menolak jika ada yang mengundang pementasan jika hanya menonjolkan kreasi modern. Makanya, penghasilan dari dunia ini tidak begitu besar.

Lalu, bagaimana Anda membiayai yayasan dan seluruh kegiatan yang Anda lakukan?

Dalam setiap pentas, biaya yang kami keluarkan memang lebih banyak dibanding bayaran atau honor yang kami terima.

Sering kali, kami harus melakukan perhitungan yang matang agar keuangan kami masih bisa membiayai kebutuhan dan kegiatan yang dilakukan. Namun begitu, karena tujuannya semata-mata bukan mencari untung, maka kami mendapat undangan pementasan yang cukup padat.

Makanya, kami juga kemudian membuat usaha sampingan dengan membuka penyewaan alat-alat dan perlengkapan budaya tradisional seperti baju bodo, perhiasan pengantin, serta perlengkapan lainnya.

Dari hasil inilah, kami mendapatkan biaya tambahan untuk menghidupi penari dan pemusik yang berada di bawah naungan yayasan ini.

Jika Anda memperhatikan apakah pekerjaan ini bisa menghasilkan seperti jenis pekerjaan yang lain?

Sebenarnya mempertahankan seni dan budaya tradisonal bukanlah pekerjaan yang bisa diharapkan membawa dan mencukupi kebutuhan hidup, bahkan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Namun untuk memperkenalkan budaya ini diperlukan beberapa persiapan dan perlengkapan. Apalagi, melihat kondisi inilah kita kami bertekad agar seni dan budaya yang merupakan aset bangsa harus di pertahankan. Sebab tidak mungkin, dalam kurun waktu tertentu, seluruh seni ini akan hilang.

Lalu bagaimana Anda mempertahankannya agar tidak punah?

Yang pasti, kami selalu melakukan pengkaderan sebab seperti saya, tidak mungkin akan ada terus. Makanya, kami selalu menerima anak-anak yang berumur lima tahun untuk didik dalam bidang seni seperti tari dan musik.

Jika memang mereka berbakat dan punya keinginan, tentu saja mereka inilah yang kami harapkan mampu mempertahankan budaya ini. Termasuk anak saya, juga sedikit demi sedikit saya tanamkan jiwa seni, keterampilan, dan kepedulian terhadap kebudayaan ini.

Bagaimana dengan sikap dan kepedulian pemerintah sendiri?

Terus terang, kami cukup salut dan bangga dengan perhatian pemerintah. Meski tidak terlalu fokus, mereka tetap memberikan perhatian terhadap perkembangan budaya kita.

Contohnya, di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel, mereka setiap tahun secara rutin, mengadakan kegiatan bagi para koreografer lokal untuk menampilkan hasil kreasinya yang kemudian akan dinilai oleh koreografer nasional untuk perbaikannya.

Tak hanya itu, dalam setiap even, seperti penyambutan tamu dan berbagai jenis acara lainnya, pemerintah tetap mengundang kelompok tari tradisional untuk tampil. Dan bukan hanya pemerintah, tapi juga pihak swasta sudah mulai mengikut sertakan pertunjukan seni tradisional dalam setiap acara yang mereka adakan.

Terhadap dunia internasional, bagaimana Anda mempromosikannya?

Sejak sering tampil melakukan pertunjukan dalam even internasional, baik mengikuti eksebisi atau melakukan promosi wisata, kami melihat bahwa dunia internasional memiliki perhatian terhadap kebudayaan.

Makanya, saya pernah membuat sebuah company profile Yama sehingga dalam setiap kunjungan ke negara lain, kami selalu menitipkannya kepada lembaga kesenian setempat. Saya juga pernah menitipkan company profile ini kepada seluruh kedutaan besar Indonesia yang ada di luar negeri.

Namun keinginan saya belum tercapai, yaitu membuat sebuah website atau situs diinternet yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat baik di Indonesia ataupun di luar negeri. Apalagi, alumni Yama ini sudah banyak yang tinggal di luar negeri.

Responsnya?

Sebenarnya, kami sangat bangga. Baru-baru ini, pemerintah Taiwan mengundang Yama secara pribadi untuk tampil dalam sebuah even internasional yang menampilkan seni tradisional dari berbagai negara.

Undangan kali ini sangat spesial menurut kami. Ini menunjukkan bahwa kami telah dikenal mampu mempertahankan seni tradisional Sulsel. Juga membuktikan bahwa selama ini, kami cukup mampu mempromosikan kebudayaan Sulsel di mata negara-negara lain.

Terakhir, bagaimana harapan Anda terhadap perkembangan seni tradisional di Sulsel?

Saya sangat berharap agar pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan seni tradisional. Apalagi dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang cukup mendesak, menjadi ancaman serius bagi perkembangan seni tradisional.

Tidak saja pemerintah, kami juga berharap agar masyarakat turut memberikan apresiasi yang positif terhadap upaya mempertahankan seni tradisional ini. Jangan sampai, masyarakat kita sendiri yang dengan sengaja melupakan betapa pentingnya seni tradisional itu sebagai ciri warga Sulsel.

Pelabuhan Rasa

Sabtu, 17 Oktober 2009

80 Tahun Maestro Tari

Suasana Hotel Losari Metro 27 Juni 2008 malam agak lain. Dekor pentas bernuansa lokal tampak ‘’ditingkahi’’ gesekan ’’kesok-kesok’’ yang bertindak sebagai pengiring pembaca acara. Di meja depan tampak mantan Gubernur Sulsel H.A.Amiruddin/Nyonya dan Gubernur Sulsel H.Syahrul Yasin Limpo didampingi yang punya hajat Hj Andi Sitti Nurhani Sapada yang akrab disapa Petta Nani.
Malam itu, Petta Nani merayakan ulang tahun ke-80. Maestro senitari Sulawesi Selatan ini dilahirkan di Parepare 25 Juni 1929. Ayahnya, Andi Makkasau Parenrengi Lawawo (Datu SuppaToa) dan ibunya, Rachmatiah Daeng Baji. Seperti juga terhadap bayi perempuan Bugis, selalu disapa dengan nama Andi Besse (karena keturunan raja). Nama itu pun yang menjadi panggilan sayang terhadap Petta Nani.
Peringatan ini juga dikaitkan dengan penyerahan penghargaan seni kepada sejumlah seniman yang berjasa dalam bidang seni tari dan kesenian khususnya. Mereka itu, Iin Joesoef Madjid (Sanggar Anging Mammiri), Andi Ummu Tunru (Batara Gowa), Alimuddin Dg.Tombong (Penata Seni Kecaping/Suling), Drs.Darwis Katang (Sanggar Andi Cammi Sidrap), Musafir Hasan (Kecaping Suling), Ma’ruf Salim (Sanggar Ma’minasa), Azis Hafid (IKS Pusat, penata upacara adat), Nurwahidah (dosen UNM yang menulis buku Petta Nani), Dr.A.Halilintar Latif (peneliti seni tari dan penata tari), Andi Abubakar (Sanggar Andika, Koreografer muda), Kartini Haris (IKS Pinrang), Abdi Basit, dan Kamil.
Delapan puluh tahun usia Petta Nani, tidak hanya menjadi milik dirinya seorang diri, tetapi milik kita semua, rakyat Sulawesi Selatan.
’’Jika tidak ada lagi yang bisa diberikan kepada bangsamu, berikanlah rasa senimu,’’ kata Gubernur Sulsel Dr.H.Syahrul Yasin Limpo, S.H.,M.Si, M.H. mengutip ucapan Rosevelt, ketika Amerika Serikat menghadapi turbulence.
Ada empat yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan ini, kata Syahrul Yasin Limpo, yakni kebenaran filosofis, kebenaran sosiologis, yuridis, dan kebenaran seni dan budaya yang teruji. Jika tidak ada seninya, seseorang atau suatu bangsa akan tergelincir menjadi jahat.
’’Waktu saya jadi bupati, sering dikoreksi oleh Ibu Nani Sapada. Tari ’paduppa’ tidak begitu. Saya dinasihi masalah seni,’’ Syahrul Yasin Limpo mengenang sosok pencipta tari ’pakkarena’ itu.
Iin Joesoef Madjid yang tak sempat muncul pada acara penyerahan penghargaan, didaulat memberikan kesan. Iin tahu betul bagaimana kedekatan antara mama Ida Joesoef Madjid, ibunya, dengan Petta Nani. Petta Nani adalah guru tari mamanya.
’’Saya kalau berbicara mengenai Petta Nani, selalu ingat mama. Mama tidak pernah tidak menyebut nama Petta Nani,’’ kata Iin terisak berat.
Iin termasuk penari terbaik Makassar ketimbang mamanya sendiri. Bahkan, Iin pernah menjadi Tololo dan Torungkanya Sulawesi Selatan bersama Andi Itja. Iin termasuk generasi ketiga yang harus berkarya seni. Dia mencoba berkiprah di politik, namun dia lebih cocok jika terus berkiprah di seni.
Salah seorang teman kelas Petta Nani yang hadir pada malam itu adalah drg.H.Halimah Dg.Sikati, pensiunan dosen Unhas dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unhas.
’’Saya sejak remaja hingga kini masih kawan dengan Nani yang dulu namanya Nani Sonda. Sekarang saya jadi pencabut gigi,’’ ujar Halimah Dg.Sikati. Nama Sonda adalah nenek dari ibunya. Dia terpaksa pakai nama itu, agar bisa masuk sekolah Belanda. Jika pakai nama Andi Makkasau, jelas tidak akan tembus ke sekolah Belanda. Andi Makkasau sendiri musuh Belanda, karena dianggap sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan yang melawan Belanda. Ayah Petta Nani, tewas dengan cara yang sadis, yakni diberati dengan batu lalu ditenggelamkan ke laut di pantai Mangarabombang, di dekat Suppa, Pinrang. Nenek Petta Nani adalah seorang jaksa terkenal di Sulawesi Selatan tempo doeloe. Neneknya itulah yang membimbing Petta Nani hingga memasuki Algemeene Middlebare School (SMS) setingkat SMA. Petta Nani memang sempat mengecap pendidikan tinggi, yakni di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Makassar. Itu pun berlangsung selama tiga tahun. Ia kemudian mengikuti ibunya yang menyelesaikan pendidikan di AMS Jakarta dan tantenya di Frobel Kweek School, sejenis Sekolah Guru TK di Bandung.
Halimah Dg Sikati berkisah, dari dulu Nani suka menari dan menyanyi.
’’Saya tak tahu dari mana bakatnya itu bersumber. Sebab, dia masuk sekolah pamong praja. Saya dan Nani termasuk pelajar favorit. Yang paling cantik pula,’’ Halimah memuji.
Keistimewaan Nani, kata Halimah Dg Sikati, selalu diundang menyelesaikan salah paham yang terjadi di antara teman-temannya. Jika mereka berkelahi, 2-3 hari tidak baku bicara. Tetapi berkelahi dulu (perempuan) hanya saling memuntahkan isi hati. Meski bertengkar, tetapi masih tetap masuk sekolah.
Setamat SMA, Halimah ke sekolah Belanda, Nani ambil jalan sendiri. Hingga kini, mereka yang sama-sama sekolah di AMS dulu, selalu rajin menggelar reuni, antara lain di Jakarta, Belanda, hingga Amerika Serikat. Bahkan di Afrika Selatan, tetapi tak ada yang ke sana.
’’Kini jumlah kami mungkin tiggal 4-5 orang (tiga berteman hadir pada malam hari itu, red.) saja. Jika kami bertemu, selalu berbahasa Belanda. Kita boleh membenci orang Belanda, tetapi jangan membenci bahasanya,’’ Halimah Dg.Sikati mengakhiri komentarnya.

Rabu, 30 Desember 2009

PAKARENA

Pakarena, Antara Kelembutan dan Kekerasan

Gowa, di Sulawesi Selatan. Dulunya, Gowa dikenal sebagai sebuah kerajaan maritim yang besar pengaruhnya di perairan nusantara. Dari kerajaan ini muncul seorang pahlawan nasional, yang bergelar Ayam Jantan Dari Timur, Sultan Hasanuddin, yang merupakan Raja Gowa ke-14.

Sisa-sisa kebesaran Kerajaan Gowa, masih terasa hingga kini. Istana Kerajaan Gowa, dulunya, menjadi satu-satunya tempat bagi para penari untuk mempertunjukkan kebolehannya di hadapan raja. Sikap bathin yang hening, penuh kelembutan, meditatif, itulah kesan yang tersirat dari gemulainya gerakan penari ini.

Tari Pakarena yang dibawakan penari ini, adalah tarian khas masyarakat Sulawesi Selatan. Pakarena, dalam bahasa setempat berasal dari kata "karena", yang atinya main. Sementara imbuhan "pa", menunjukkan pelakunya.

Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa, yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa. Dulu-dulunya, pada upacara-upacara kerajaan, Tari Pakarena ini dipertunjukkan di istana. Namun pada perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari hari.

Kelembutan, mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya, yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki, terutama terhadap suami.

Gerakan lembut si penari, sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan, buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip, dilakukan dalam setiap bagian tarian. Sesungguhnya, pola-pola ini memiliki makna khusus.

Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam, menunjukkan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan.

Aturan mainnya, seorang penari Pakarena, tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung, yang memakan waktu sekitar 2 jam. Tidak salah kalau seorang penari Pakarena, harus mempersiapkan dirnya dengan prima, baik fisik, maupun mentalnya.

Dan tidak perlu heran pula, bila sebelum melakukan pertunjukkan, setiap penari harus melakukan upacara ritual adat, yang disebut Jajatang, dengan sesajian berupa beras, kemenyan, dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang pertunjukkan berlangsung.

Mak Coppong, Sang Mpu Pakarena

Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya. Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula yang kemudian enggan melanjutkannya, saat memasuki jenjang pernikahan.

Namun tidak demikian halnya dengan seorang Mak Coppong Daeng Rannu. Perempuan tua, yang kini usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena. Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang Mpu Pakarena.

Mak Coppong, sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan untuk tampil menarikan Pakarena, yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini.

Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang menggambarkan kelembutan perempuan Gowa.

Mak Coppong tak pernah mau ambil pusing dengan bayaran yang diterimanya. Dedikasi penuh pada tarian ini, membuatnya rela menerima sebarapapun besarnya bayaran yang diberikan si pengundang. Padahal, selepas ditinggal suaminya wafat, kehidupannya banyak bergantung pada kesenian yang telah lama diusungnya ini. Namun biasanya, ia menerima bayaran sekitar 500 ribu hingga satu juta rupiah, untuk tampil semalam suntuk, termasuk biaya sewa pakaian dan alat-alat.

Tubuh yang sudah renta termakan usia, kulit yang semakin keriput sejalan perjalanan hidup, tak membuatnya surut dalam berkarya bersama Tari Pakarena. Bahkan untuk membagi kebisaan yang didapat dari ayahnya ini, ia sejak tahun 1978, mengajarkan Tari Pakarena kepada para gadis di kampungnya, di Desa Kampili, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa.

Di rumahnya, yang merupakan rumah panggung khas Gowa, yang disebut Bala'rate, para gadis melangkah, melenggok, menggerakkan tangannya, mengikuti gerak si Mpu Pakarena, Mak Coppong. Saat ini ada 6 gadis yang menjadi anak didiknya. Dan tak sepeserpun, Mak Coppong memungut biaya.

Gundah hati Mak Coppong, amat terasa di saat salah seorang anak didiknya memasuki jenjang pernikahan. Karena biasanya, usai menikah, anak didiknya tak lagi menekuni Tari Pakarena. Sebuah kebiasaan di Gowa, adalah hal yang tabu dan malu, bila seorang perempuan yang telah menikah, tampil di muka umum.

Pandangan umum inilah yang menyebabkan Tari Pakarena, seolah hanya selesai sampai di situ. Padahal tidak demikian buat Mak Coppong.

Dalam benak Mak Coppong, Pakarena adalah tarial sakral, yang tidak semua perempuan mampu menarikannya. Ketekunan dan kesabaran menjadi modal utama buat penari Pakarena. Itulah salah satunya, yang dimiliki Mak Coppong, hingga kini.

Kini, nasib Tari Pakarena, seolah hanya bersandar pada Mak Coppong semata. Selain hanya ia yang paham akan seluk beluk tarian ini, ia pulalah yang tetap setia mengusung tari tradisional yang pernah jaya di masa Kerajaan Gowa dulu.

Musik Gandrang Pakarena Yang Kontroversial

Penari Pakarena, begitu lembut menggerakkan anggota tubuhnya. Sebuah cerminan wanita Sulawesi Selatan.

Sementara, iringan tetabuhan, yang disebut Gandrang Pakarena, seolah mengalir sendiri. Hentakannya yang bergemuruh, selintas tak seiring dengan gerakan penari. Gandrang Pakarena, adalah tampilan kaum pria Sulawesi Selatan yang keras.

Tarian Pakarena dan musik pengiringnya, bak angin mamiri dan gelombang badai. Peran musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian, ia juga sebagai penghibur bagi penonton.

Suara hentakan, lewat empat gandrang, atau kendang, yang ditabuh bertalu-talu, ditingkahi tiupan puik-puik, atau seruling, parapasak, atau bambu belah, dan gong, begitu menggoda penontonnya. Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan tunrung rinci. Maknanya adalah pukulan gemuruh.

Pemain gandrang-lah yang berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan, sepenuhnya bergantung pada pukulan gandrang. Karena itu, seorang pemain gandrang harus sadar bahwa ia adalah pemimpin, dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.

Biasanya, selain jenis pukulan, untuk menjadi tanda irama musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh gandrang, juga menggerakkan tubuh, terutama kepalanya.

Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam tetabuhan gandrang. Yang pertama adalah pukulan tunrung, yaitu pukulan gandrang dengan menggunakan stick, atau ba'bala, yang terbuat dari tanduk kerbau. Dan yang kedua pukulan tumbu, yang dipukul hanya dengan tangan.

Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini, begitu berpengaruh pada penonton. Mereka begitu bersemangat. Seakan tak ingat lagi waktu pertunjukkan, yang biasanya berlangsung semalam suntuk.

Semangat ini pula yang membuat para pemain musiknya semakin menjadi. Mereka seakan trance.

Waktu terus bergulir, hentakan Gandrang Pakarena terus terdengar. Namun entah sampai kapan, Gandrang Pakarena akan terus ada. Nasibnya amat bergantung pada tarian Pakarena sendiri, yang kini masa depannya seolah hanya berada di tangan Mak Coppong. Mudah-mudahan semangatnya tak akan pudar, seiring dengan irama musiknya yang mencerminkan kerasnya lelaki Sulawesi Selatan.

Maestro Kesenian Tradisional Sulawesi Selatan

Sabtu, 10 Januari 2009

Maestro Kesenian Tradisional asal Sulsel [satu]



Mak Coppong, Penari Istana hingga Keliling Dunia

PENGABDIAN tidak mengenal usia. Hal itulah yang dibuktikan oleh perempuan paruh baya ini. Dialah
Coppong Dg Rannu, sang maestro tari tradisi asal Gowa, Sulawesi Selatan.

******

TIDAK ada yang istimewa saat penulis menyambangi kediaman Coppong Dg Rannu, 89, Kamis 17 Juni 2008. Perempuan tua yang akrab dipanggil Mak Coppong itu menghabiskan masa tuanya di sebuah dusun bernama Lompokiti, Desa Kampili, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.

Rumah panggung sederhana. Halaman cukup lapang. Bagian dinding rumah berlubang termakam rayap. Terali jendela terbuat dari batangan kayu. Nyaris patah, saat penulis mulai menaiki rumah yang memiliki teras berukuran sekira 3x2 meter itu.

Seisi ruangan rumah tanpa hiasan perabot yang mewah. Hanya terdapat sepasang kursi dan sebuah
televisi berukuran 21 inchi yang dipasang pada sebuah lemari kayu di ruang tengah.

Meski tampak
sederhana, namun bagian tengah rumah disekat menjadi empat kamar; dua sisi kiri, dua di sebelah kanan. Kamar didesain belahan-belahan bambu dicat kuning, itu tampak natural.

Persis suasana di
luar rumah yang diapit dengan pepohonan yang rimbun. Di dinding kamar bergantung dua buah gitar listrik. Sudah lapuk. Beberapa bingkai foto dan piagam penghargaan dari empunya rumah, turut menjadi properti isi ruangan itu.

Di rumah inilah, Mak Coppong menghabiskan sisa usianya. Dilihat dari kondisi rumahnya, orang mungkin
tidak percaya jika di tempat itu hidup seorang seniman besar yang dimiliki bangsa ini.

Mak Coppong
telah mendapat pengakuan sebagai salah satu maestro tari tradisi Indonesia. Penghargaan tersebut ia terima dari presiden atas nama Menteri Kebudayaan pada tanggal 4 Juni 2008 lalu di Jakarta.

Mak Copong setia menari sejak zaman pendudukan Belanda. Awalnya, ia hanya mengaku ikut-ikutan
menari setelah melihat seorang guru tari bernama Mosai Dg Ngola. Saat itu, Coppong kecil hanya ingin menggembirakan hati kedua orangtuanya.

“Saya belajar tari saat usia sepuluh tahun. Saat itu, tidak ada aktivitas yang lain apalagi namanya pergi sekolah,” kenang Mak Coppong dalam bahasa Makassar.

Hanya saja, kebiasaan menari membuat hati Coppong mulai kecantol. Sedikit demi sedikit, ia mulai
menekuni berbagai jenis tari, seperti Pakarena dan Salonreng. Saat itu, Coppong bersama dengan lima teman belianya, masing-masing almarhum Tija, Mini’, Sawa’, Tonjong, dan Dg Kobo mulai merintis tarian tradisi.

“Kami setiap hari belajar menari. Sejak dahulu guru kami mengatakan jika tarian Pakarena hanya bisa dibawakan oleh enam orang,” urai Mak Coppong yang mengaku tidak tahu mengapa hanya enam orang yang membawakan tarian itu.

Mak Coppong pertama kali menari di Istana Balla Lompoa. Ibu tiga anak itu mengaku tidak pernah
melupakan kenangan tersebut. Bahkan, pada acara istana yang dihadirinya ia kerap menari hingga menjelang subuh.

Hal itu bisa dilakukan hingga tiga malam berturut-turut.
Mak Coppong menari dengan menggunakan rasa. Dirinya yang buta huruf hanya bisa memperkiraan durasi waktu yang diberikan.

Aktivitas menari Mak Coppong mulai terganggu pada tahun 1960. Saat itu, kelompok pasukan DI/TII
mengeluarkan instruksi agar aktivitas tarian dihentikan. Pasalnya, kegiatan itu dinilai bertentangan dengan agama Islam.

Bersama dengan suaminya, Alm Manyerang Dg Serang, Mak Coppong menjalani hari-harinya sebagai
ibu rumah tangga. “Karena kita takut, terpaksa saya dan teman-teman berhenti total. Untuk latihan pun kami sangat ketakutan,” kenangnya.

Pada tahun 1977, setelah sistem pemerintahan telah beralih dari sistem kerajaan, Mak Coppong kembali
bangun dari “tidur panjangnya”. Kali ini, Mak Coppong resmi berpisah dengan rekan-rekannya.

Dengan
tekadnya yang bulat, ia mulai mengumpulkan beberapa perempuan untuk diajar menari. Saat ini, boleh dikata, dari enam penari tradisional Makassar, tinggal Mak Coppong yang tersisa dan eksis untuk menghidupkan kekayaan daerah ini.

Sedangkan lima orang sahabatnya -- satu orang telah
meninggal -- memilih berhenti menjadi penari.

“Katanya mereka malu, apalagi usianya sudah tua semua,” ucapnya.


Pakkarena adalah tarian khas Makassar kuno yang kerap ditampilkan di dalam istana raja-raja Gowa.
Jenis tarian ini menurut Mak Coppong, mencapai 12 tarian. Jenisnya adalah Sambori’na, Mabbiring Kassi, Sonayya, Lambassari, Digandang, Jangan Lea-lea, Yolle atau tari raja, Angka Malino, Lekoboddong, Anni-anni, Biseang I Lau, dan Sanro Beja.

Proses tarian Mak Copong mulai diapresiasi masyarakat dunia setelah bergabung dengan Sanggar
Batara Gowa. Mak Coppong menjadi “selebritis” tari yang pentas di mana-mana. Ia banyak diundang ke berbagai kota, provinsi, dan negara.

Puncaknya, ketika ia ikut tergabung dalam pementasan naskah I
Lagaligo dari tahun 2002-2006 di Asia, Eropa, dan Amerika. Sejibun penghargaan pun melekat pada diri Mak Coppong.

Di antaranya, Anugerah Seni dari Dinas
Pariwisata Sulsel tahun 2000 dan Penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya RI tahun 1999. Terakhir dinobatkan sebagai maestro tari tradisi asal Sulsel.

Meski mendapat predikat itu, Mak Coppong tak pernah merasa “puas”.
Dalam usianya yang kian uzur, nenek dari 8 cucu ini masih terus menari. Untuk mempertahankan tradisi itu, ia mengajak seluruh keluarga, anak, kemenakan, dan cucu-cucunya untuk menari.

Meski diakui tidak ada perhatian dari pemerintah Kabupaten Gowa terhadap dirinya, namun kondisi
tersebut tidak menjadi penghambat. Sebab dalam hatinya, Mak Coppong mengaku kekayaan yang dimiliknya sekarang tak ternilai dengan materi apa pun.

Maestro Kesenian Tradisional asal Sulsel [dua]


Cemoohan Berbuah Penghargaan

“Jika kamu tidak mau belajar menari dan menjadi penari, maka tidak ada lagi penerus yang jadi penari di keluarga kita. Kita akan kehilangan jati diri keluarga.”

*****

Pesan itu masih terngiang jelas di telinga Mak Coppong. Berkat hal itu pula, membuatnya tetap tegar menekuni “dunia” satu ini hingga di usianya yang memasuki fase uzur.

Bagi Mak Coppong, menari merupakan panggilan jiwa dan rasa. Sedangkan mengajar menari adalah
tanggung jawab melestarikan budaya.

Sempat vakum lantaran dilarang, pada tahun 1977 Mak Copong bangun dari “tidur panjangnya”. Sistem pemerintahan saat itu juga telah beralih dari sistem kerajaan. Hanya saja, kali ini Mak Coppong harus berjuang sendiri.

Tapi dengan tekad bulat, diapun melangkah
maju. Baginya, maju sendiri atau kolektif, sama saja. Yang penting bersungguh-sungguh, pasti akan menuai hasil maksimal.

Berbekal keyakinan itu, Mak Coppong pun mulai mengumpulkan beberapa perempuan belia untuk diajar
menari. Kala itu, nyaris semua orang memandang profesi Mak Copong tidak menjanjikan dalam hal materi. Dan yang lebih menyakitkan sekaligus menjadi pelecut semangat, dia kerap dipandang sebagai wanita murahan. Dicap sebagai perempuan tidak terhormat.

“Namun saya tidak peduli dengan semua itu. Yang penting saya dipanggil untuk menghibur,
saya akan menghargai panggilan itu,” ucapnya datar.

Hasilnya, Mak Copong berhasil membuka pikiran dan hati sebagian masyarakat yang
sebelumnya sering mencemoohnya. Dia bahkan berhasil memperlihatkan eksistensinya sebagai penari
primadona dan masuk dalam deretan penari berkelas tanah air.

Saat ini boleh dikata, dari enam penari tradisional Makassar, tinggal dia seorang yang tersisa
dan tetap eksis menghidupkan khazanah budaya nusantara. Lima orang sahabatnya -- satu orang telah meninggal-- memilih berhenti menjadi penari dan menekuni dunia baru.

“Katanya mereka malu. Apalagi, usianya sudah tua semua. Sama seperti saya ini,” kata Mak

Coppong mengenang rekan-rekan seprofesinya dulu.

Berkat “kepala batu” sekaligus “tebal muka”nya itu, Mak Coppong mampu mengangkat tarian

tradisional Pakarena dengan 12 jenisnya – Sambori’na, Mabbiring Kassi, Sonayya, Lambassari,
Digandang, Jangan Lea-lea, Yolle atau tari raja, Angka Malino, Lekoboddong, Anni-anni, Biseang I Lau, dan Sanro Beja-- menjadi terkenal ke seantero penjuru dunia.

Pelan tapi pasti, tarian Mak Copong mulai diapresiasi masyarakat dunia. Apalagi setelah dia

setelah bergabung di Sanggar Batara Gowa. Mak Coppong pun berubah menjadi “selebriti” tari yang pentas di mana-mana.

Ia banyak diundang ke berbagai kota, provinsi, dan negara. Puncaknya, ketika ia ikut
tergabung dalam pementasan naskah I Lagaligo dari tahun 2002-2006 di Asia, Eropa, dan Amerika.

Saat tampil di Eropa dan Amerika, Mak Coppong yang tetap lugu laiknya orang kampung, sempat

menyedot perhatian penikmat tari tradisional. Maklum, dia tetap mampu mempertahankan “keasliannya“ sebagai penari tradisional; sederhana namun bersahaja.

Seiring dengan itu, sederet penghargaan pun berhasil diraiahnya. Antara lain Anugerah Seni

dari Dinas Pariwisata Sulsel (2000), Penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya RI (1999), serta yang terkini, dinobatkan sebagai maestro tari tradisi asal Sulsel.

Meski mendapat predikat itu, Mak Coppong tak pernah merasa puas. Di usianya yang kian

uzur, nenek dari delapan cucu ini masih terus menari. Untuk mempertahankan tradisi itu, ia mengajak seluruh keluarga, anak, kemenakan, dan cucu-cucunya untuk menari.

Meski diakui tidak ada perhatian dari pemerintah Kabupaten Gowa terhadap dirinya, namun

hal itu tidak menjadi penghambat. Sebab dalam hati Mak Coppong tertanam satu tekad dan keyakinan bahwa “kekayaan” yang dimilikinya sekarang tak bisa dinilai dengan benda apapun.

Jumat, 09 Januari 2009

Maestro Kesenian Tradisional asal Sulsel [tiga]


Abdikan Hidup Lewat Tabuhan Gendang

SERANG Dakko, penabuh gendang papan atas di daerah ini. Bersama Mak Coppong, lelaki yang akrab disapa Dg Serang, itu juga dinobatkan sebagai maestro kesenian tradisional asal Sulawesi Selatan.

****

SUASANA areal rumah adat Benteng Somba Opu, sudah diselimuti keremangan. Bias cahaya matahari, hanya menyisakan rona jingga di ujung awan sebelah barat. Sebuah lampu jalan pun mulai menerangi bentangan pavinblok yang mengarah ke lokasi situs sejarah tersebut.

Tepat di depan Tongkonan,--rumah adat Tana Toraja--penulis menghentikan kendaraan. Di tempat, sebuah rumah panggung plus panggung pertunjukan tempat kediaman Dg Serang, maestro kesenian tradisional dengan instrumen gendang. Sebelumnya, penulis telah mengatur janji untuk bertemu dan mengutarakan perihal kedatangan.

Saat ditemui, Dg Serang baru saja menunaikan salat magrib. Beberapa keluarganya, tampak berada di bagian belakang rumah. Mata penulis langsung tertuju pada deretan gendang berbagai ukuran yang berada di belakang kursi sofa milik tuan rumah.

Tanpa berbasa- basi, Dg Serang langsung membuka perbincangan setelah mengecilkan volume televisi 21 inci di ruang tamu.


“Gendang sudah menjadi teman hidup yang sangat akrab. Sangat banyak pengalaman menarik yang saya dapatkan lewat alat musik tradisional ini,” ujar Dg Serang.


Mata Dg Serang menerawang. Kisah masa lalu terputar kembali. Dilahirkan di Desa Kalaserena, Kabupaten Gowa pada 1939. Belajar menabuh gendang saat masa penjajahan Belanda. Usianya masih kanak-kanak, waktu itu.

Secara alami, bakat menabuh gendang diturunkan oleh
bapaknya. Dg Parincing yang dikenal sangat iawai memainkan alat musik itu.

Aktivitas kesenian Dg Serang, terus berlanjut hingga awal kemerdekaan republik ini. Usianya yang memasuki masa remaja kala itu, dihabiskan ikut bersama rombongan ayahnya. Serang remaja, bahkan sudah dipercaya menjadi pengiring Tarian Pakarena yang kerap memenuhi undangan untuk acara pementasan.

“Setiap hari saya diingatkan oleh orangtua untuk serius berlatih menabuh gendang. Katanya, semakin lama berlatih maka aura gendang akan menyatu dengan penabuhnya,” kenang Dg Serang akan nasihat sang ayah.

Belajar secara otodidak, gigih dilakukan Dg Serang. Prinsipnya, tanpa pendidikan formal pun tabuhan gendang akan bisa dikuasai. Intinya telaten berlatih. Dan, benar saja. Dalam waktu beberapa tahun, ia sudah piawai memainkan alat musik khas Makassar itu.

Pada 1960-an, beberapa seniman Sulsel turut berlatih pada ayahnya. Salah satunya adalah Nani Sapada dan Paselleng. Pertemuan itulah yang membuat Dg Serang kian melejit dengan kariernya. Ia dipercaya menjadi pengiring tari-tari Nani Sapada dalam berbagai pertunjukan yang berskala besar.

“Waktu itulah saya mulai menginjakkan kaki di luar negeri. Saya tidak pernah membayangkan hal itu,” ujarnya polos.


Meski mengaku menyerahkan hidup dan matinya pada gendang, namun perasaan Dg Serang untuk berkeluarga selalu membara. Akhirnya, ia mempersunting seorang “bunga desa” bernama Dg Baji. Saat itu, usia Dg Serang menginjak angka 32 tahun.


Untuk menghidupi keluarganya, Dg Serang hanya berharap welas asih dari penduduk yang menggelar pesta pernikahan atau sunatan. Dari tabuhan gendang itu, ia mampu mencarikan nafkah bagi keluarga.


“Kesenian telah membentuk saya untuk selalu gembira menghadapi kehidupan. Saya tidak pernah mengeluh dan menjalani hidup apa adanya,” tandasnya.

Dari hasil perkawinannya dengan Dg Baji, Dg Serang dikarunia empat anak. Mereka, adalah Cece, Indrawati, Irwan, dan Arianto. Sayangnya, tak satupun dari keempat anaknya tersebut yang dilihat langsung oleh Dg Serang saat dilahirkan.

Lagi-lagi, profesi menabuh gendang telah “merenggut”semuanya, meski itu hanya sekadar menemani istri tercinta menyabung nyawa saat melahirkan. Saat anak pertama dan kedua lahir, Dg Serang mengaku berada di Thailand dan Singapura. Sedangkan, pada saat anak ketiga dan keempatnya dilahirkan, master gendang ini sedang menggelar “konser” di Bali dan Jakarta. (ber

Maestro Kesenian Tradisional Sulsel [empat-selesai]

Digelari Bapak Gendang Dunia, Diabaikan Tim I Lagaligo

PENGALAMAN menabuh gendang sejak kecil membawa Dg Serang melanglang buana ke luar negeri. Hasilnya, oleh orang-orang “asing” itu, dia dianugerahi gelar “Bapak Gendang Dunia”. Padahal, di negeri sendiri, dia pernah dicampakkan.

*****

Luar biasa! Kata itu yang terlintas dalam benak penulis saat bertemu Dg Serang. Betapa tidak, gendang telah menjadi “istri” pertama baginya. Boleh jadi, dalam pikiran Dg Serang, “bersetubuh” dengan gendang adalah kenikmatan yang tiada taranya.


Untung saja, Dg Baji, perempuan yang dinikahinya tidak pernah cemburu, meski harus “diduakan”. Sebaliknya, mampu memahami kehidupan suaminya. Dg Baji tetap tabah. Bahkan, tidak henti-hentinya memberikan support dan motivasi agar Dg Serang, sang suami tercinta, terus menekuni kariernya.

“Ia perlu dorongan dari keluarga dan di situlah peran saya sebagai pendamping hidupnya,” tutur Dg Baji.

Spirit itulah, Dg Serang bebas melakoni profesinya. Iapun mengakui dukungan keluarga modal terbesar menjaga “warisan” tersebut.

Saat melawat ke beberapa negara, Dg Serang tampil memukau. Di Hongkong ia mengikuti pagelaran yang disebut Tunrung Rincing --sejenis rampak gendang-- yang diikuti para jawara gendang dari berbagai belahan dunia.

Di antaranya, India, Swiss.
Di tempat ini, Dg Serang tampil all out. Kelihaiannya menabuh gendang mampu membuka “mata” dunia. Saat itulah pula ia langsung digelari “Bapak Gendang Dunia”.

Mendapat gelar itu, Dg Serang bukannya berbangga hati. Menurutnya, pengakuan bukanlah akhir dari titian karier. Ia tidak butuh pengakuan. Namun butuh apresiasi seni tradisional perlu mendapat perhatian untuk terus dikembangkan.

Lagipula, meski mendapat pengakuan dunia, tidak memuluskan jalan Dg Serang di daerahnya sendiri. Hal itu terlihat saat adanya proyek pementasan naskah Sureq I Lagaligo di luar negeri.


Casting tim yang digelar penyelenggara tidak mampu meloloskan penabuh senior ini. Padahal, para penabuh yang diikutkan tak lain adalah “murid-muridnya”.


“Saya menghormati proses seleksi itu. Tak diikutkan di Lagaligo bukan berarti saya berhenti menabuh gendang,” ucap Dg Serang sambil mengusap wajah keriputnya.


Dg Serang menilai jika aktivitas kesenian di Makassar sudah tidak sehat lagi. Indikasi saling sikut kiri-kanan beberapa kali dipertontonkan pelaku kesenian. Bahkan, cenderung tidak memikirkan nasib dan pengembangan kesenian di Makassar.


Kelanjutan kesenian tradisional Dg Serang memasuki babak baru pada tahun 1991. Saat itu, pengelola Pembangunan “Taman Mini” Sulsel, Benteng Somba Opu, Dr Muchlis Paeni meminta dirinya menetap di lokasi itu. Selain mengembangkan kesenian, status Dg Serang juga bertambah sebagai tenaga keamanan.

Di tempat ini, ia lebih leluasa mengembangkan kreativitas seni, sekaligus melatih ilmu dan keterampilan kepada generasi muda yang ingin belajar.
Setahun sebelumnya, ia mendirikan Sanggar Seni Alam.

Nama ini didasari atas personelnya yang terbentuk secara alamiah, tanpa melalui pendidikan formal. Di perkumpulannya yang baru ini, ia mengajar menabuh gendang dan tari klasik Pakarena.

Ia juga merangkul beberapa seniman tua untuk bergabung di sanggarnya. A
lat gendang di rakit sendiri. Itu dilakukan agar bentuk dan ukuran gendang bisa sesuai dengan keinginan.

“Jika gendang tidak sesuai dengan ukuran badan, maka irama dan posisi saat menabuh akan jauh berbeda. Itu juga bisa membuat bagian tubuh sakit seusai pentas,” tuturnya.


Lalu apa yang paling berkesan dalam hidup Dg serang? Ditanya demikian, Dg Serang menundukkan kepala. Sejenak ia mengisap rokok yang baru saja dibakarnya.

“Saya tidak akan pernah lupa saat kunjungan ke Thailand. Di negeri ini saya dan beberapa seniman hampir meninggal,” ucapnya lirih.

Sekiranya, lanjut Dg Serang, rombongan penabuh gendang dan penarih Pakarena tidak cepat meninggalkan Thailand, boleh jadi mereka tidak ditemukan lagi. Pasalnya, hanya sehari setelah meninggalkan negeri Gajah Putih itu, gelombang Tsunami 26 Desember 2004 mengoyak wilayah penginapan rombongan asal Sulsel.

“Saya lihat di televisi, hotel dan lokasi kami pementasan hancur disapu air laut. Saya bersyukur bisa selamat dari bencana menakutkan itu,” ungkapnya.

Luput dari maut itu, menjadikan Dg Serang memetik hikmahnya. Ia meyakini jika sang pencipta telah memberikan petunjuk untuk terus mengembangkan budaya tradisional Sulsel. Hal itulah yang membuat keikhlasannya mengabdikan hidup pada gendang, terus membukit.

Dinobatkannya Dg Serang sebagai maestro kesenian tradisional seakan melengkapi kesempurnaan kesenian Sulsel di Indonesia. Ketelatenan dan komitmen berkesenian membuahkan pengakuan. Dua tokoh daerah ini berhasil mengawinkan gelar maestro. Penari oleh Mak Coppong, dan penabuh gendang oleh Dg Serang.

Penari Tari Tradisional Makassar

Mak Coppong

Nama :

Coppong Daeng Rannu

Lahir :

Desa Kampili,

Kecamatan Pallangga, Gowa,

Sulawesi Selatan (1920)

Penghargaan :

Penghargaan dari Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya untuk dedikasinya melestarikan tari tradisional,(1999)

Anugerah Seni dari Yayasan Kesenian Sulawesi Selatan,(2000)

Penghargaan dari Robert Wilson untuk pentas‘I La Galigo ’(2004)

Piagam penghargaan Seniman Senior Indonesia (Maestro Seni Tradisi) atas prestasi dan pengabdian yang luar biasa dalam melestarikan dan mengembangkan seni tradisi,(2008)

Mak Coppong merupakan anak tunggal dari pasangan Dg. Baco’ dan Ba Iyo, masa kecilnya ia habiskan di Desa Kampili, Kecamatan Palangga, Kab Gowa hingga kini. Selama hidupnya Mak Coppong tidak pernah mengecap bangku sekolah, karena jarak antara sekolah dengan tempat tinggalnya berjauhan.

Menjadi penari, awalnya tak terpikirkan baginya. Hatinya tergugah saat ibunya berkata agar belajar menari sebagai penerus keluarganya yang juga penari. Di usia 10 tahun, ia memutuskan menjadi generasi penerus untuk menekuni tari, terutama tari Salonreng dan Pakarrena. Pakarena adalah tarian khas Makassar kuno yang dulu kerap dipersembahkan di istana dalam acara resmi. Adapun Salonreng juga merupakan tarian Makassar kuno yang sarat nuansa ritual, dan hanya ditarikan pada acara tertentu, semisal upacara mengusir tolak bala.

Gerakan-gerakan Salonreng dan Pakarena yang diajarkan oleh Mosoa Daeng Ola, guru sekaligus kakeknya, dengan cepat ia serap. Pada usia 10 tahun itu juga ia menari untuk pertama kali di Balla Lompoa, Istana Raja Gowa dan selanjutnya ia menjadi penari istana.

Kendati menjadi penari istana, diakui Mak Coppong, hari-harinya banyak dilalui dengan cemoohan tetangga yang harus ia terima hampir setiap hari. Namun keteguhan hatinya untuk menunjukkan bahwa menjadi penari bukan pekerjaan hina, lambat laun mampu membungkam mulut mereka. Terlebih saat ia melebarkan sayap dengan menari di pentas-pentas bergengsi di banyak tempat hingga ke luar negeri dan mendapat penghargaan.

Di tahun 2004, selama tiga bulan ia melanglang buana dari Singapura menuju negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Australia untuk menjadi penari dalam pementasan I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson. Akhir tahun 2006 lalu, dia tampil pada Festival Budaya di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Di usia yang hampir seabad, ia tetap bersemangat menjajaki separuh dari luas bumi demi memperkenalkan khasanah budaya Sulawesi Selatan melalui gemulai gerakannya. Baginya menari adalah panggilan jiwa dan bertekad menekuni terus tarian itu agar seni tradisi suku Makassar tak lenyap tergerus budaya populer. Mungkin ini juga yang membuat dirinya tetap bersemangat menjalani sisa hidup, sembari menularkan ilmu tari pada sedikit orang muda yang tertarik pada seni tradisi.

(Dari Berbagai Sumber)

Yayasan Kesenian Batara Gowa Sulawesi Selatan

Senin, 04 Mei 2009

Andi Ummu Tunru Mendobrak Tradisi Istana Gowa


Rabu, 08 September 2004

Andi Ummu Tunru Mendobrak Tradisi Istana Gowa

(Kompas 08 september 2004)

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0409/08/naper/1246892.htm

MENINGGALKAN istana kerajaan bukan keputusan mudah bagi seorang perempuan berusia 13 tahun. Tetapi, tekad untuk berkesenian dan mendalami dunia tari membuat Andi Ummu Tunru tak hirau. Dia mendobrak tradisi yang masih sangat kental dalam lingkungan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.

Terlahir sebagai seorang putri dalam lingkungan Kerajaan Gowa membuat Ummu terikat pada aturan untuk menjadi penari kerajaan. Sejak usia sembilan tahun, ia sudah diajar menari oleh beberapa anrong guru (empu/pakar) tari, terutama pakar tari Pakarena di Kerajaan Gowa.

Beruntung, ayah Ummu, yakni Andi Tunru Karaeng Kalluarrang, dan ibunya, Hj Andi Siti Humaya, sangat memahami keputusan Ummu. Ummu "dilepaskan" untuk mencari jati dirinya dan berguru ke tempat lain.

Sekeluar dari istana, Ummu mendatangi Andi Nurhani Sapada, Munasiah Najamuddin, Ida Joesoef Madjid, dan beberapa penari lainnya. Selain itu, dia juga mempelajari naskah-naskah tari dan kebudayaan tradisional dari berbagai daerah di Sulsel.

Tujuannya, untuk menggali dan mengembangkan tari-tari daerah Sulsel sekaligus mengasah kemampuannya. Tak puas hanya di satu sanggar seni, Ummu bergabung dengan beberapa kelompok kesenian tradisi dari berbagai daerah di Sulsel.

Di usia 17 tahun atau empat tahun sekeluarnya dari istana, Ummu kembali "berulah". Saat itu tahun 1968, dibantu keluarganya yang juga masih kerabat kerajaan, yakni Andi Tjonneng Mallombassang, ia mendirikan sanggar seni Batara Gowa.

Kerabat kerajaan "tertampar" karena di sanggar itu Ummu menerima anggota dari berbagai latar belakang. Semua orang di sanggar ini juga punya hak sama mempelajari kesenian apa pun, tari apa pun, termasuk tari Pakarena. Padahal, hanya kerabat atau penari kerajaan yang boleh membawakan tari Pakarena-roh dari tari-tarian yang ada Sulsel. Tari ini hanya boleh dibawakan dalam acara-acara kerajaan.

"Memang keluarga besar saya atau keluarga besar kekerabatan Raja Gowa tidak secara terang-terangan memprotes. Tapi saya tahu betul bahwa segala yang saya lakukan bertentangan dengan kebiasaan atau tradisi yang berlaku," kata Ummu. "Saya hanya ingin menegaskan bahwa kesenian itu tidak memandang latar belakang orang, dan kesenian itu adalah sesuatu yang pantas diketahui, dipelajari, dan didalami oleh siapa pun."

UMMU mengakui, semua yang dilakukannya dan pandangan miring kalangan kerajaan terhadap penari di luar istana membuatnya berada dalam situasi serba sulit. Ini membuatnya makin berhati-hati melangkah.

"Saya jadi bertekad untuk menunjukkan kepada keluarga besar saya bahwa pandangan mereka itu salah. Saya pun ingin menunjukkan bahwa pilihan saya tidak salah. Saya mau membuka mata mereka bahwa saya bisa hidup dan tidak kehilangan harga diri, dengan berkesenian. Saya mau mereka melihat bahwa saya bisa tetap bersikap sebagaimana putra-putri yang lahir dalam lingkungan kerajaan, menjaga nama baik keluarga, di mana pun saya berada," kata ibu dari Andi Nurul Irna Ramadhani , Andi Muh. Redo Paewa , dan Andi Akbar ini.

Tekad dan usaha kerasnya serta pengertian suaminya, Basri B Sila, yang juga seorang komposer dan koreografer membuahkan hasil. Sejumlah tari ciptaan Ummu mendapat perhatian dan dibicarakan. Sebut saja tari Appalili (1974), Kondo Buleng (1979), Bunga Tonjong (1980), Gerhana Matahari (1985), PagaE (1987), Appakase’re (1990), I Yoro, Dendang Rebana (1992), Pakkarena Ma’lino (1998), Appalili II (2001), Kalli-Kalli, Maccule, Asse’re Kana, dan Na’nak (2002).

Tak hanya di Makassar atau daerah lain di Indonesia, Ummu juga kerap tampil di luar negeri. Ia pernah berkolaborasi dengan Eko Suprianto dan beberapa penari luar negeri, seperti di Jepang, Taiwan, Malaysia, dan Singapura. Tahun ini, Ummu menjadi master tari untuk pertunjukan teater tari I Lagaligo yang disutradarai Robert Wilson berkeliling Singapura, Belanda, Spanyol, Italia, Jerman, dan New York.

Semua itu akhirnya mengubah persepsi keluarga, utamanya kerabat kerajaan, tentang kesenian dan penari. Namun, di sebagian kalangan seniman dan orang-orang yang iri, Ummu pernah mendapat gelar sebagai penari pariwisata.

Memang seiring ketenarannya, Ummu dan Batara Gowa-nya teramat sering tampil di setiap pentas seni. Bahkan, di kalangan pengusaha hotel dan perjalanan wisata, sanggar seni Batara Gowa pun jadi langganan.

"Julukan sebagai penari pariwisata membuat saya sakit dan terpukul. Bagi saya, menari itu sudah menjadi jiwa dan sudah ada di kalbu. Makanya saya tidak pernah memilih-milih harus menari di mana atau di tempat seperti apa. Saya pernah menari di kampung yang penontonnya tidak banyak. Saya juga pernah berjalan kaki ke tempat pertunjukan karena mobil yang mengantar rusak. Tapi toh, itu tidak lantas membuat saya menari setengah hati. Saya tetap menari dengan baik sama seperti bila saya menari di panggung dan pentas tari bergengsi di luar negeri," tuturnya.

Bagi Ummu, penggambarannya pada tari seperti seseorang yang berkomunikasi dengan Tuhan-nya. "Tuhan kan tidak mengatur waktu dan tempat untuk berkomunikasi dengan Dia. Kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan di mana pun kita berada dan dalam situasi apa pun," katanya.

Kiprah Ummu akhirnya memupus habis tudingan sebagai penari pariwisata. Apalagi di usianya yang sudah 54 tahun, ia tak berhenti berkarya dan tetap aktif menari. Ia turun langsung melatih anak-anak sanggar Batara Gowa dan menjadi kurator tari di beberapa pentas seni.

Orang akhirnya sadar bahwa Ummu memang menari dengan jiwanya dan ingin terus menari hingga betul-betul tak mampu menari lagi. (RENY SRI AYU TASLIM, Kompas)

Basri B. Sila (Daeng Bas)

Basri B Sila, yang biasa disapa Daeng Basri. Kiprahnya di kesenian dimulai sebagai pemusik tradisi dengan belajar dari Pak Rapo, seorang anrong guru (empu) Pakarena dan Ganrang di Gowa. Sebagai seorang penata musik dan tari, ia pernah mencantrik di Padepokan Bagong Kussudiharjo, Yogyakarta pada tahun 1983-1985 dan memberikan banyak kontribusi bagi pengembangan karya tari kreasi baru Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan. Sepulang dari sana, kepiawaiannya dalam menata musik dan tari ia tunjukkan dalam berbagai event baik di tingkat regional, nasional dan internasional. Ia pun termasuk yang mengembangkan musik iringan tari di Sulawesi Selatan. Karena itu pula ia mendapat sejumlah penghargaan dan sejumlah prestasi dari pemerintah maupun organisasi lain.

Nama : Basri B. Sila

Tempat/Tgl. Lahir : Gowa, 14 Mei 1953

Agama : Islam

Alamat : Jl. Tupai 10 No. 8 Makassar 90132

Telp : (0411) 874890, 08124200943

Email : bataragowa@hotmail.com

Pengalaman Organisasi :

· Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Sulawesi Selatan 1999-2000

· Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Sulawesi selatan 2000-2004

· Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Makassar 2000-2001

· Ketua Komite Musik BKKI Sul-Sel 1999-2003

Pengalaman Berkesenian antara lain :

  • - Belajar Musik melalui Pak Rapo-anrong guru gandrang Maestro gendang di Kabupaten Gowa
  • - Mengikuti Pendidikan Kesenian di Padepokan Seni Bagong Kusudihardjo pada tahun 1983-1985
  • - Music Director untuk teater antara lain pada Festival Istiqlal-Jakarta (1999), Festival Teater Nasional-Solo(1992), Festival Pertunjukan Sastra Nasional-Jakarta (1998)
  • 1985 Pengajar pada Program Pengembangan Guru Kesenian, PPPG di Yogyakarta
  • 1988 Menjadi Instruktur Tari dan Musik Tradisional Sulawesi Selatan di Selangor, Malaysia
  • 1996 Penata Musik Terbaik pada Temu Teater Nasional di Bandung, Jawa barat
  • 1997 Mengikuti Program Indonesian art cultural exchange di Jepang, Malaysia, dan Singapore
  • 1998 Penata Musik Terbaik pada Festival Teater Sulawesi Selatan
  • 1998 Sebagai Peserta Pada Festival Cak Durasim I di Surabaya, Jawa Timur
  • 1998 Sebagai Peserta pada Gebuk Blitar, Jawa Timur
  • 1998 Sebagai Peserta pada Ghost and Spirit festival in tacheless, Berlin, Jerman
  • 1998 Sebagai Peserta pada Temu Musik Nasional di Solo, Jawa tengah
  • 1999 Sebagai Peserta Pada Festival Cak Durasim II di Surabaya, Jawa Timur
  • 1999 Sebagai Peserta pada Sharing Time di Tejakula, Bali
  • 2000 Penata Musik pada WIRID 2000 (Dari Makassar sambut Millenium) di Makassar
  • 2000 Penata Musik pada Getar Muharram Makassar
  • 2000 Sebagai Peserta pada Festival Kalimas II di Surabaya, Jawa Timur
  • 2001 Sebagai Peserta pada Festival Kalimas III di Surabaya, Jawa Timur
  • 2001 Sebagai Peserta pada Festival Gamelan di Yogyakarya
  • 2001 Sebagai Peserta pada Surabaya Full Music di Surabaya, Jawa Timur
  • 2002 Kolaborasi dengan Chi Body Theatre dari Taiwan di Akin and Amity di Makassar
  • 2003 Penata mUsik untuk Tari Naknak, koreografer A. Ummu Tunru di Solo Dance Festival, Jawa tengah
  • 2003 Penata Musik pada Pakarena reborn and Because of Umbrella Performance, Kolaborasi dengan Chi Body Theatre di Taichung dan Taipei, Taiwan
  • 2004 Penata Musik pada South Sulawesi Cultural Night di Nancy Expo Festival di Paris, Perancis
  • 2004-2008Musisi pada I La Galigo theatre performance, Sutradara Robert Wilson antara lain di Singapore, Madrid dan Barcelona-Spanyol, Lyon-Prancis, Ravenna-Italia, Amsterdam-Belanda, New York-USA, Melbourne-Australia, Taipei-Taiwan.
  • 2005 Penata Musik pada South Sulawesi Performance Night pada Easter Festival di Cape Town, Afrika Selatan
  • 2005 Menerima Celebes Award 2005 dari Gubernur Sulawesi Selatan
  • 2006 Penata Musik untuk Dance des Bissu, Sulawesi del Sud Mewakili Asia Tenggara pada 10th Festival DeL’Imaginaire of Maison Des Cultures du Monde ,France Ministery of Culture, di Paris dan Aureillac, Prancis.
  • 2006 Mengikuti World meditation Gathering di Surakarta, Jawa tengah
  • 2007 Mewakili Indonesia pada International Himalaya Meditation Centre di Risikesh, India
  • 2007 Mengikuti Solo International Ethnic Music Festival di Surakarta, Jawa tengah
  • 2007 Penata Musik pada Pentas Keliling Program Hibah seni Kelola di Surabaya, Yogyakarta, dan Bali

Karya Cipta Musik dan Tari antara lain :

Doleng-doleng, Loods (1987), Market (1988), Dumba I (1989), Badik (1989), Corak (1990), Dodeng (1995), Tirai (1995), Dumba II dan III (1996), Barzanji (1996)

Profile Andi Ummu Tunru (pendiri Batara Gowa)


Andi Ummu Tunru
Dance Master

Born in Makassar, South Sulawesi, Andi Ummu Tunru started dancing at age seven; by age nine, she was learning the Bugis-Makassar traditions from dance masters Andi Nurhadi Sapada, Ida Joesoef Majid, and Munasiah Nadjamuddin. Her experiences include performing in the Somba Opu Bahari Festival, Makassar (1995); the Makassar Dance Festival (1998); Cak Durasim Festival, Surabaya (1999); Performing Arts Festival, Surabaya (2000); and in Taipei with Chi Body Theater (2002). She has also choreographed and coordinated the art mission to Las Vegas, San Francisco, Los Angeles, Hawaii, and Taiwan for Travel Age West, PATA Chapter; the Mass Indonesian Dance, Makassar; and Nusantara Bersatu dance at the Indonesian Arts Meeting in Makassar. As director of Batara Gowa Dance Group, she has collaborated with artists from Indonesia and abroad and teaches traditional dances in several institutions, including Makassar Tourism Academy, and she is head of the Makassar Arts Council.

Berikut ini merupakan profile singkat dari Andi Ummu Tunru, pendiri Yayasan Kesenian Batara Gowa. Putri dari pasangan Andi Bau Tunru Krg. Kaluarrang dan Hj. Andi Humaya Tunru Petta Pudji.

Istri dari Seniman Musik asal Sulawesi Selatan Basri B. Sila yang akrab disapa dengan nama Daeng Bas.

Nama : Andi Ummu Tunru

Tempat/Tgl. Lahir : Makassar 25 September 1951


Alamat : Jl. Tupai 10 No. 8 Makassar 90132

Telp : (+62)411 874890,

(+62)411 5786292,

(+62) 85696 254 354

Email : bataragowa@hotmail.com

Studio : Baruga Kaluarrang, Jl. Dg. Tata III/2 Makassar

Pengalaman Organisasi :

· Ketua Dewan Kesenian Sulawesi Selatan

· Ketua Yayasan Kesenian Batara Gowa

· Departemen tari Dewan Kesenian Makassar

· Bidang Lit.Bang di Badan Pengembangan dan Promosi Pariwisata Makassar

Pengalaman Berkesenian antara lain :

  • - Menari Sejak Umur 6 (enam) tahun dilatih oleh seorang guru kesenian di SD. Canisius Yogyakarta
  • - Belajar Menari bersama keluarga dari Gowa dan dilatih oleh Ny. Munasiah Nadjamuddin dan Seorang Guru tari dari Sumatera
  • - Belajar tari Pakarena pada beberapa anrong guru Pakarena
  • 1970-Sekarang Memimpin Lembaga Kesenian Batara Gowa
  • 1981-1982 Sebagai Kordinator dan Pelatih tari acara Kesenian pada event Travel Age West, PATA Chapter di Las Vegas,san Fransisco, Los Angeles-USA, Hawai, dan Taiwan
  • 1995 Melatih Team Kesenian Dharma wanita Kota Makassar untuk program kunjungan ke Jepang
  • 1995 Mengikuti Program Indonesian art cultural exchange di Jepang, Malaysia, dan Singapore
  • 1996 Memberi workshop pada event sharing Time International di Tejakula Bali
  • 1999 Kolaborasi bersama Eko Supriyanto di Makassar Arts forum
  • 2002 Menata Tari Massal “Nusantara Bersatu” pada acara Temu Budaya Nusantara di Makassar
  • 2003 Mengikuti Solo Dance Festival, Jawa tengah

  • 2003 Penata Musik pada Pakarena reborn and Because of Umbrella Performance, Kolaborasi dengan Chi Body Theatre dan mempromosikan budaya Sulawesi Selatan di Taichung dan Taipei, Taiwan
  • 2003 Menata Tari massal “Pesona Nusantara”
  • 2004-2008 Sebagai Consultant Choreography dan Dance Master pada I La Galigo theatre performance, Sutradara Robert Wilson antara lain di Singapore, Madrid dan Barcelona-Spanyol, Lyon-Prancis, Ravenna-Italia, Amsterdam-Belanda, New York-USA, Melbourne-Australia, Taiwan.
  • 2005 Koreografer pada South Sulawesi Performance Night pada Easter Festival di Cape Town, Afrika Selatan
  • 2003 Menerima Celebes Award 2003 dari Gubernur Sulawesi Selatan
  • 2006 Manager Produksi untuk Dance des Bissu, Sulawesi del Sud Mewakili Asia Tenggara pada 10th Festival DeL’Imaginaire of Maison Des Cultures du Monde ,France Ministery of Culture, di Paris Dan Aureillac, Prancis.
  • 2006 Diutus oleh Pemerintah daerah Makassar melatih tari selama sebulan di Guangzhou, China
  • 2007 Mewakili Indonesia pada International Himalaya Meditation Centre di Risikesh, India
  • 2007 Mengikuti Solo International Ethnic Music Festival di Surakarta, Jawa tengah
  • 2007 Koreografer pada Pentas Keliling Program Hibah seni Kelola di Surabaya, Yogyakarta, dan Bali
  • 2008 Memberi workshop pada International Taipei Art Festival, Taiwan
  • 2008 Menata drama tari "Sultan Alauddin: Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan" pada acara pembukaan Temu Alumni Internasional ESQ

KaryaTari antara lain : Naknak, Pajoge Macenning, Kondobuleng, Sabulang, Sawerigading, Julukana (dipentaskan pada kunjungan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono)

Rabu, 29 April 2009

Baruga Kaluarrang



Studio latihan milik Yayasan Kesenian Batara Gowa ini beralamat di Jalan Dg. Tata III/2 Makassar.

Ditempat inilah para anggota mengasah ilmunya di bidang seni tari, seni musik, dan teater.

BARUGA KALUARRANG

JL. DG. TATA III/2 MAKASSAR

PHONE: +62411-874890
+62856 96 254 354

Selasa, 28 April 2009

Sekilas tentang Yayasan Kesenian Batara Gowa


Yayasan Kesenian Batara Gowa merupakan yayasan yang bergerak di bidang seni, khususnya seni tradisi Sulawesi Selatan.

Didirikan oleh Andi Ummu Tunru seorang seniman tari dari Sulawesi Selatan pada tahun 1968 di Makassar.

Program utama yayasan kesenian ini adalah tari tradisional, tari kontemporer, musik kontemporer, dan etnomusikologi. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan adalah pertunjukan seni, penelitian, serta pelatihan tari untuk anak-anak dan remaja.


YAYASAN KESENIAN BATARA GOWA

JL. TUPAI 10 NO. 08 MAKASSAR 90132, SULAWESI SELATAN. INDONESIA

email: bataragowa@hotmail.com

phone: +62856 96 254 354
+62411 874 890
+62411 578 6292