Kamis, 31 Desember 2009

Pelabuhan Rasa

Sabtu, 17 Oktober 2009

80 Tahun Maestro Tari

Suasana Hotel Losari Metro 27 Juni 2008 malam agak lain. Dekor pentas bernuansa lokal tampak ‘’ditingkahi’’ gesekan ’’kesok-kesok’’ yang bertindak sebagai pengiring pembaca acara. Di meja depan tampak mantan Gubernur Sulsel H.A.Amiruddin/Nyonya dan Gubernur Sulsel H.Syahrul Yasin Limpo didampingi yang punya hajat Hj Andi Sitti Nurhani Sapada yang akrab disapa Petta Nani.
Malam itu, Petta Nani merayakan ulang tahun ke-80. Maestro senitari Sulawesi Selatan ini dilahirkan di Parepare 25 Juni 1929. Ayahnya, Andi Makkasau Parenrengi Lawawo (Datu SuppaToa) dan ibunya, Rachmatiah Daeng Baji. Seperti juga terhadap bayi perempuan Bugis, selalu disapa dengan nama Andi Besse (karena keturunan raja). Nama itu pun yang menjadi panggilan sayang terhadap Petta Nani.
Peringatan ini juga dikaitkan dengan penyerahan penghargaan seni kepada sejumlah seniman yang berjasa dalam bidang seni tari dan kesenian khususnya. Mereka itu, Iin Joesoef Madjid (Sanggar Anging Mammiri), Andi Ummu Tunru (Batara Gowa), Alimuddin Dg.Tombong (Penata Seni Kecaping/Suling), Drs.Darwis Katang (Sanggar Andi Cammi Sidrap), Musafir Hasan (Kecaping Suling), Ma’ruf Salim (Sanggar Ma’minasa), Azis Hafid (IKS Pusat, penata upacara adat), Nurwahidah (dosen UNM yang menulis buku Petta Nani), Dr.A.Halilintar Latif (peneliti seni tari dan penata tari), Andi Abubakar (Sanggar Andika, Koreografer muda), Kartini Haris (IKS Pinrang), Abdi Basit, dan Kamil.
Delapan puluh tahun usia Petta Nani, tidak hanya menjadi milik dirinya seorang diri, tetapi milik kita semua, rakyat Sulawesi Selatan.
’’Jika tidak ada lagi yang bisa diberikan kepada bangsamu, berikanlah rasa senimu,’’ kata Gubernur Sulsel Dr.H.Syahrul Yasin Limpo, S.H.,M.Si, M.H. mengutip ucapan Rosevelt, ketika Amerika Serikat menghadapi turbulence.
Ada empat yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan ini, kata Syahrul Yasin Limpo, yakni kebenaran filosofis, kebenaran sosiologis, yuridis, dan kebenaran seni dan budaya yang teruji. Jika tidak ada seninya, seseorang atau suatu bangsa akan tergelincir menjadi jahat.
’’Waktu saya jadi bupati, sering dikoreksi oleh Ibu Nani Sapada. Tari ’paduppa’ tidak begitu. Saya dinasihi masalah seni,’’ Syahrul Yasin Limpo mengenang sosok pencipta tari ’pakkarena’ itu.
Iin Joesoef Madjid yang tak sempat muncul pada acara penyerahan penghargaan, didaulat memberikan kesan. Iin tahu betul bagaimana kedekatan antara mama Ida Joesoef Madjid, ibunya, dengan Petta Nani. Petta Nani adalah guru tari mamanya.
’’Saya kalau berbicara mengenai Petta Nani, selalu ingat mama. Mama tidak pernah tidak menyebut nama Petta Nani,’’ kata Iin terisak berat.
Iin termasuk penari terbaik Makassar ketimbang mamanya sendiri. Bahkan, Iin pernah menjadi Tololo dan Torungkanya Sulawesi Selatan bersama Andi Itja. Iin termasuk generasi ketiga yang harus berkarya seni. Dia mencoba berkiprah di politik, namun dia lebih cocok jika terus berkiprah di seni.
Salah seorang teman kelas Petta Nani yang hadir pada malam itu adalah drg.H.Halimah Dg.Sikati, pensiunan dosen Unhas dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unhas.
’’Saya sejak remaja hingga kini masih kawan dengan Nani yang dulu namanya Nani Sonda. Sekarang saya jadi pencabut gigi,’’ ujar Halimah Dg.Sikati. Nama Sonda adalah nenek dari ibunya. Dia terpaksa pakai nama itu, agar bisa masuk sekolah Belanda. Jika pakai nama Andi Makkasau, jelas tidak akan tembus ke sekolah Belanda. Andi Makkasau sendiri musuh Belanda, karena dianggap sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan yang melawan Belanda. Ayah Petta Nani, tewas dengan cara yang sadis, yakni diberati dengan batu lalu ditenggelamkan ke laut di pantai Mangarabombang, di dekat Suppa, Pinrang. Nenek Petta Nani adalah seorang jaksa terkenal di Sulawesi Selatan tempo doeloe. Neneknya itulah yang membimbing Petta Nani hingga memasuki Algemeene Middlebare School (SMS) setingkat SMA. Petta Nani memang sempat mengecap pendidikan tinggi, yakni di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Makassar. Itu pun berlangsung selama tiga tahun. Ia kemudian mengikuti ibunya yang menyelesaikan pendidikan di AMS Jakarta dan tantenya di Frobel Kweek School, sejenis Sekolah Guru TK di Bandung.
Halimah Dg Sikati berkisah, dari dulu Nani suka menari dan menyanyi.
’’Saya tak tahu dari mana bakatnya itu bersumber. Sebab, dia masuk sekolah pamong praja. Saya dan Nani termasuk pelajar favorit. Yang paling cantik pula,’’ Halimah memuji.
Keistimewaan Nani, kata Halimah Dg Sikati, selalu diundang menyelesaikan salah paham yang terjadi di antara teman-temannya. Jika mereka berkelahi, 2-3 hari tidak baku bicara. Tetapi berkelahi dulu (perempuan) hanya saling memuntahkan isi hati. Meski bertengkar, tetapi masih tetap masuk sekolah.
Setamat SMA, Halimah ke sekolah Belanda, Nani ambil jalan sendiri. Hingga kini, mereka yang sama-sama sekolah di AMS dulu, selalu rajin menggelar reuni, antara lain di Jakarta, Belanda, hingga Amerika Serikat. Bahkan di Afrika Selatan, tetapi tak ada yang ke sana.
’’Kini jumlah kami mungkin tiggal 4-5 orang (tiga berteman hadir pada malam hari itu, red.) saja. Jika kami bertemu, selalu berbahasa Belanda. Kita boleh membenci orang Belanda, tetapi jangan membenci bahasanya,’’ Halimah Dg.Sikati mengakhiri komentarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar