Kamis, 31 Desember 2009

Pertahankan Tari Tradisional dari Terpaan Modernisasi

(04 May 2008, 516 x , Komentar) Oleh: Hj St Sufaidahnur Joesoef Madjid SE (Ketua Yayasan Anging Mammiri (Yama) Sulsel)

PERKEMBANGAN teknologi dan informasi nampaknya telah menjadi lawan dari dunia seni tradisional di Sulsel. Dalam kondisi ini, sedikit demi sedikit, modernisasi telah mengikis dan menggeser seni tradisional yang ada.
Bahkan, hamppir seluruh jenis seni tradisional sudah mulai tergeser sehingga untuk mempertahankannya agar tetap eksis menjadi pekerjaan yang tidak gampang. Seperti seni musik tradisional, tari tradisional juga sudah mulai terlupakan.

Padahal, baik musik dan tari ini merupakan bagian perekat budaya masyarakat di Sulsel dan Makassar. Dalam mempertahankannya, tentu saja dibutuhkan ekstra perhatian yang tidak kecil, seperti yang dilakukan Yayasan Anging Mammiri (Yama) yang dalam bulan ini telah berumur 44 tahun.

Bagaimana Yama bisa tetap eksis mempertahankan seni budaya dan tari tradisional, berikut petikan wawancara ketuanya, Hj St Sufaidahnur Joesoef Madjid SE yang akrab dipanggil Iin kepada wartawan Fajar, Yulhaidir Ibrahim di kediamannya, Kamis, 1 Mei lalu.

Yama boleh dikata merupakan kelompok tari tertua di Sulsel. Bisa menceritakan sedikit bagaimana terbentuknya Yama ini?

Yama merupakan Yayasan Pendidikan Kesenian Anging Mammiri Sulsel. Yayasan ini telah berdiri sejak 27 Mei 1964 atau 44 tahun silam. Pendirinya adalah Gubernur Sulsel pada waktu itu, HAA Rifai bersama ayah saya, Drs HM Joesoef Madjid dan Drs A Tunru.

Mereka ini sepakat membentuk yayasan ini karena kepedulian yang tinggi terhadap dunia seni, utamanaya musik dan tari. Bahkan, karena begitu pedulinya, pak gubernur sendiri kabarnya menyumbangkan lima stel perhiasan penari yang lengkap. Tentu saja, di kala itu, membutuhkan biaya yang cukup besar untuk bisa melakukan hal itu.

Pada waktu itu, para penari Yama sendiri terdiri dari keluarga-keluarga bangsawan yang memang banyak mengerti mengenai tari, nyanyi, dan musik. Namun untuk mempertahankan dan menambah anggota, maka muridnya mulai datang dari masyarakat umum yang punya kepedulian dan bakat seni.

Apa tujuan didirikannya yayasan ini?

Tujuannya pendirian yayasan ini sangat sederhana. Para pendiri bertekad agar yayasan ini mampu menghimpun dan membina putra putri yang berbakat seni. Memelihara serta menggali seni budaya di Sulsel dan melahirkan kader-kader pemimpin organisasi kesenian.

Karena keuletan dan telah menjadi hobi, maka yayasan ini mampu berdiri hingga sekarang, serta telah melahirkan sedikitnya 3.615 alumni. Karena tak ingin alumninya terlupakan, maka kemudian dibentuk pula IKA Yama yang menjadi tempat berkumpulnya mantan murid, penyanyi, pemusik, dan penari Yama.

Pada saat itu, siapa yang menjadi ketua?

Waktu itu, ibu saya, almarhumah Ida Joesoef Madjid yang memegang peranan pimpinan dan memenej seluruh kegiatan Yama. Sejak saat itu, Yama telah berkiprah mulai di level regional hingga ke luar negeri.

Tentu saja ini menjadi kebanggaan kami. Saya sendiri sejak berumur lima tahun sudah diajak keluar negeri untuk ikut menari dan menyaksikan bagaimana Yama mengisi even kebudayaan, hingga saat ini saya menjadi ketua.

Dengan usia 44 tahun untuk bertahan, tentu saja membutuhkan perhatian yang tidak sedikit. Bagaimana Yama mampu bertahan selama ini?

Pada usia seperti ini, tentu saja perhatian yang tercurah tidak sedikit. Dari keluarga kami saja, khusus ibu dan ayah saya yang memang hobi dengan kesenian ini telah meluangkan waktu yang tidak sedikit.

Bahkan, mereka berani menanamkan investasi yang tidak sedikit untuk membangun sanggar dan studio tari dengan memiliki fasilitas yang cukup sehingga para muridnya selalu betah dan tekun belajar.

Di keluarga, saya anak ketiga dari empat bersaudara. Walaupun semuanya memiliki bakat seni yang berbeda hingga pekerjaan kami sampai sekarang semuanya terkait bidang seni,

namun saya melihat bahwa “warisan” yang ditinggalkan kedua orangtua saya untuk mempertahankan yayasan ini sangat besar sehingga akan sia-sia jika tidak dilanjutkan dan diperhatikan.

Makanya, sejak mengambil alih seluruh kepemimpinan di yayasan ini pada tahun 1991, saya berupaya untuk mempertahankan keberadaan sanggar tersebut dan melanjutkan pada pengkaderan dan penciptaan kreasi-kreasi baru.

Patut menjadi kebanggan, Yama dikenal sangat kuat mempertahankan seni tradisional. Mengapa Anda tidak mengikuti globalisasi dengan “memoderenkan” yayasan ini?

Seperti tujuan kami dan pesan dari orangtua, kami tidak ingin seni tradisional menjadi kabur dan bahkan hilang. Meski kami akui sangat berat bertahan dengan kondisi keuangan yang tidak begitu menghasilkan, namun saya selalu berkomitmen, apapun, jika ingin menampilkan Yama harus selalu memiliki ciri budaya tradisional yang kuat.

Karena keunikan seperti inilah yang membuat Yama dapat tetap eksis dan selalu mendapatkan job. Apalagi, dalam setiap pertunjukan, kami selalu menonjolkan tarian adat masyarakat.

Meski begitu, saya juga beberapa kali menciptakan kreasi modern. Namun dalam pementasan, meski pertunjukannya harus menampilkan seni modern, saya tetap mengisi dengan seni tradisional yang berakar sehingga ciri tradisionalnya tetap ada.

Bahkan, saya menolak jika ada yang mengundang pementasan jika hanya menonjolkan kreasi modern. Makanya, penghasilan dari dunia ini tidak begitu besar.

Lalu, bagaimana Anda membiayai yayasan dan seluruh kegiatan yang Anda lakukan?

Dalam setiap pentas, biaya yang kami keluarkan memang lebih banyak dibanding bayaran atau honor yang kami terima.

Sering kali, kami harus melakukan perhitungan yang matang agar keuangan kami masih bisa membiayai kebutuhan dan kegiatan yang dilakukan. Namun begitu, karena tujuannya semata-mata bukan mencari untung, maka kami mendapat undangan pementasan yang cukup padat.

Makanya, kami juga kemudian membuat usaha sampingan dengan membuka penyewaan alat-alat dan perlengkapan budaya tradisional seperti baju bodo, perhiasan pengantin, serta perlengkapan lainnya.

Dari hasil inilah, kami mendapatkan biaya tambahan untuk menghidupi penari dan pemusik yang berada di bawah naungan yayasan ini.

Jika Anda memperhatikan apakah pekerjaan ini bisa menghasilkan seperti jenis pekerjaan yang lain?

Sebenarnya mempertahankan seni dan budaya tradisonal bukanlah pekerjaan yang bisa diharapkan membawa dan mencukupi kebutuhan hidup, bahkan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Namun untuk memperkenalkan budaya ini diperlukan beberapa persiapan dan perlengkapan. Apalagi, melihat kondisi inilah kita kami bertekad agar seni dan budaya yang merupakan aset bangsa harus di pertahankan. Sebab tidak mungkin, dalam kurun waktu tertentu, seluruh seni ini akan hilang.

Lalu bagaimana Anda mempertahankannya agar tidak punah?

Yang pasti, kami selalu melakukan pengkaderan sebab seperti saya, tidak mungkin akan ada terus. Makanya, kami selalu menerima anak-anak yang berumur lima tahun untuk didik dalam bidang seni seperti tari dan musik.

Jika memang mereka berbakat dan punya keinginan, tentu saja mereka inilah yang kami harapkan mampu mempertahankan budaya ini. Termasuk anak saya, juga sedikit demi sedikit saya tanamkan jiwa seni, keterampilan, dan kepedulian terhadap kebudayaan ini.

Bagaimana dengan sikap dan kepedulian pemerintah sendiri?

Terus terang, kami cukup salut dan bangga dengan perhatian pemerintah. Meski tidak terlalu fokus, mereka tetap memberikan perhatian terhadap perkembangan budaya kita.

Contohnya, di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel, mereka setiap tahun secara rutin, mengadakan kegiatan bagi para koreografer lokal untuk menampilkan hasil kreasinya yang kemudian akan dinilai oleh koreografer nasional untuk perbaikannya.

Tak hanya itu, dalam setiap even, seperti penyambutan tamu dan berbagai jenis acara lainnya, pemerintah tetap mengundang kelompok tari tradisional untuk tampil. Dan bukan hanya pemerintah, tapi juga pihak swasta sudah mulai mengikut sertakan pertunjukan seni tradisional dalam setiap acara yang mereka adakan.

Terhadap dunia internasional, bagaimana Anda mempromosikannya?

Sejak sering tampil melakukan pertunjukan dalam even internasional, baik mengikuti eksebisi atau melakukan promosi wisata, kami melihat bahwa dunia internasional memiliki perhatian terhadap kebudayaan.

Makanya, saya pernah membuat sebuah company profile Yama sehingga dalam setiap kunjungan ke negara lain, kami selalu menitipkannya kepada lembaga kesenian setempat. Saya juga pernah menitipkan company profile ini kepada seluruh kedutaan besar Indonesia yang ada di luar negeri.

Namun keinginan saya belum tercapai, yaitu membuat sebuah website atau situs diinternet yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat baik di Indonesia ataupun di luar negeri. Apalagi, alumni Yama ini sudah banyak yang tinggal di luar negeri.

Responsnya?

Sebenarnya, kami sangat bangga. Baru-baru ini, pemerintah Taiwan mengundang Yama secara pribadi untuk tampil dalam sebuah even internasional yang menampilkan seni tradisional dari berbagai negara.

Undangan kali ini sangat spesial menurut kami. Ini menunjukkan bahwa kami telah dikenal mampu mempertahankan seni tradisional Sulsel. Juga membuktikan bahwa selama ini, kami cukup mampu mempromosikan kebudayaan Sulsel di mata negara-negara lain.

Terakhir, bagaimana harapan Anda terhadap perkembangan seni tradisional di Sulsel?

Saya sangat berharap agar pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan seni tradisional. Apalagi dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang cukup mendesak, menjadi ancaman serius bagi perkembangan seni tradisional.

Tidak saja pemerintah, kami juga berharap agar masyarakat turut memberikan apresiasi yang positif terhadap upaya mempertahankan seni tradisional ini. Jangan sampai, masyarakat kita sendiri yang dengan sengaja melupakan betapa pentingnya seni tradisional itu sebagai ciri warga Sulsel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar