Rabu, 30 Desember 2009

Maestro Kesenian Tradisional Sulawesi Selatan

Sabtu, 10 Januari 2009

Maestro Kesenian Tradisional asal Sulsel [satu]



Mak Coppong, Penari Istana hingga Keliling Dunia

PENGABDIAN tidak mengenal usia. Hal itulah yang dibuktikan oleh perempuan paruh baya ini. Dialah
Coppong Dg Rannu, sang maestro tari tradisi asal Gowa, Sulawesi Selatan.

******

TIDAK ada yang istimewa saat penulis menyambangi kediaman Coppong Dg Rannu, 89, Kamis 17 Juni 2008. Perempuan tua yang akrab dipanggil Mak Coppong itu menghabiskan masa tuanya di sebuah dusun bernama Lompokiti, Desa Kampili, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.

Rumah panggung sederhana. Halaman cukup lapang. Bagian dinding rumah berlubang termakam rayap. Terali jendela terbuat dari batangan kayu. Nyaris patah, saat penulis mulai menaiki rumah yang memiliki teras berukuran sekira 3x2 meter itu.

Seisi ruangan rumah tanpa hiasan perabot yang mewah. Hanya terdapat sepasang kursi dan sebuah
televisi berukuran 21 inchi yang dipasang pada sebuah lemari kayu di ruang tengah.

Meski tampak
sederhana, namun bagian tengah rumah disekat menjadi empat kamar; dua sisi kiri, dua di sebelah kanan. Kamar didesain belahan-belahan bambu dicat kuning, itu tampak natural.

Persis suasana di
luar rumah yang diapit dengan pepohonan yang rimbun. Di dinding kamar bergantung dua buah gitar listrik. Sudah lapuk. Beberapa bingkai foto dan piagam penghargaan dari empunya rumah, turut menjadi properti isi ruangan itu.

Di rumah inilah, Mak Coppong menghabiskan sisa usianya. Dilihat dari kondisi rumahnya, orang mungkin
tidak percaya jika di tempat itu hidup seorang seniman besar yang dimiliki bangsa ini.

Mak Coppong
telah mendapat pengakuan sebagai salah satu maestro tari tradisi Indonesia. Penghargaan tersebut ia terima dari presiden atas nama Menteri Kebudayaan pada tanggal 4 Juni 2008 lalu di Jakarta.

Mak Copong setia menari sejak zaman pendudukan Belanda. Awalnya, ia hanya mengaku ikut-ikutan
menari setelah melihat seorang guru tari bernama Mosai Dg Ngola. Saat itu, Coppong kecil hanya ingin menggembirakan hati kedua orangtuanya.

“Saya belajar tari saat usia sepuluh tahun. Saat itu, tidak ada aktivitas yang lain apalagi namanya pergi sekolah,” kenang Mak Coppong dalam bahasa Makassar.

Hanya saja, kebiasaan menari membuat hati Coppong mulai kecantol. Sedikit demi sedikit, ia mulai
menekuni berbagai jenis tari, seperti Pakarena dan Salonreng. Saat itu, Coppong bersama dengan lima teman belianya, masing-masing almarhum Tija, Mini’, Sawa’, Tonjong, dan Dg Kobo mulai merintis tarian tradisi.

“Kami setiap hari belajar menari. Sejak dahulu guru kami mengatakan jika tarian Pakarena hanya bisa dibawakan oleh enam orang,” urai Mak Coppong yang mengaku tidak tahu mengapa hanya enam orang yang membawakan tarian itu.

Mak Coppong pertama kali menari di Istana Balla Lompoa. Ibu tiga anak itu mengaku tidak pernah
melupakan kenangan tersebut. Bahkan, pada acara istana yang dihadirinya ia kerap menari hingga menjelang subuh.

Hal itu bisa dilakukan hingga tiga malam berturut-turut.
Mak Coppong menari dengan menggunakan rasa. Dirinya yang buta huruf hanya bisa memperkiraan durasi waktu yang diberikan.

Aktivitas menari Mak Coppong mulai terganggu pada tahun 1960. Saat itu, kelompok pasukan DI/TII
mengeluarkan instruksi agar aktivitas tarian dihentikan. Pasalnya, kegiatan itu dinilai bertentangan dengan agama Islam.

Bersama dengan suaminya, Alm Manyerang Dg Serang, Mak Coppong menjalani hari-harinya sebagai
ibu rumah tangga. “Karena kita takut, terpaksa saya dan teman-teman berhenti total. Untuk latihan pun kami sangat ketakutan,” kenangnya.

Pada tahun 1977, setelah sistem pemerintahan telah beralih dari sistem kerajaan, Mak Coppong kembali
bangun dari “tidur panjangnya”. Kali ini, Mak Coppong resmi berpisah dengan rekan-rekannya.

Dengan
tekadnya yang bulat, ia mulai mengumpulkan beberapa perempuan untuk diajar menari. Saat ini, boleh dikata, dari enam penari tradisional Makassar, tinggal Mak Coppong yang tersisa dan eksis untuk menghidupkan kekayaan daerah ini.

Sedangkan lima orang sahabatnya -- satu orang telah
meninggal -- memilih berhenti menjadi penari.

“Katanya mereka malu, apalagi usianya sudah tua semua,” ucapnya.


Pakkarena adalah tarian khas Makassar kuno yang kerap ditampilkan di dalam istana raja-raja Gowa.
Jenis tarian ini menurut Mak Coppong, mencapai 12 tarian. Jenisnya adalah Sambori’na, Mabbiring Kassi, Sonayya, Lambassari, Digandang, Jangan Lea-lea, Yolle atau tari raja, Angka Malino, Lekoboddong, Anni-anni, Biseang I Lau, dan Sanro Beja.

Proses tarian Mak Copong mulai diapresiasi masyarakat dunia setelah bergabung dengan Sanggar
Batara Gowa. Mak Coppong menjadi “selebritis” tari yang pentas di mana-mana. Ia banyak diundang ke berbagai kota, provinsi, dan negara.

Puncaknya, ketika ia ikut tergabung dalam pementasan naskah I
Lagaligo dari tahun 2002-2006 di Asia, Eropa, dan Amerika. Sejibun penghargaan pun melekat pada diri Mak Coppong.

Di antaranya, Anugerah Seni dari Dinas
Pariwisata Sulsel tahun 2000 dan Penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya RI tahun 1999. Terakhir dinobatkan sebagai maestro tari tradisi asal Sulsel.

Meski mendapat predikat itu, Mak Coppong tak pernah merasa “puas”.
Dalam usianya yang kian uzur, nenek dari 8 cucu ini masih terus menari. Untuk mempertahankan tradisi itu, ia mengajak seluruh keluarga, anak, kemenakan, dan cucu-cucunya untuk menari.

Meski diakui tidak ada perhatian dari pemerintah Kabupaten Gowa terhadap dirinya, namun kondisi
tersebut tidak menjadi penghambat. Sebab dalam hatinya, Mak Coppong mengaku kekayaan yang dimiliknya sekarang tak ternilai dengan materi apa pun.

Maestro Kesenian Tradisional asal Sulsel [dua]


Cemoohan Berbuah Penghargaan

“Jika kamu tidak mau belajar menari dan menjadi penari, maka tidak ada lagi penerus yang jadi penari di keluarga kita. Kita akan kehilangan jati diri keluarga.”

*****

Pesan itu masih terngiang jelas di telinga Mak Coppong. Berkat hal itu pula, membuatnya tetap tegar menekuni “dunia” satu ini hingga di usianya yang memasuki fase uzur.

Bagi Mak Coppong, menari merupakan panggilan jiwa dan rasa. Sedangkan mengajar menari adalah
tanggung jawab melestarikan budaya.

Sempat vakum lantaran dilarang, pada tahun 1977 Mak Copong bangun dari “tidur panjangnya”. Sistem pemerintahan saat itu juga telah beralih dari sistem kerajaan. Hanya saja, kali ini Mak Coppong harus berjuang sendiri.

Tapi dengan tekad bulat, diapun melangkah
maju. Baginya, maju sendiri atau kolektif, sama saja. Yang penting bersungguh-sungguh, pasti akan menuai hasil maksimal.

Berbekal keyakinan itu, Mak Coppong pun mulai mengumpulkan beberapa perempuan belia untuk diajar
menari. Kala itu, nyaris semua orang memandang profesi Mak Copong tidak menjanjikan dalam hal materi. Dan yang lebih menyakitkan sekaligus menjadi pelecut semangat, dia kerap dipandang sebagai wanita murahan. Dicap sebagai perempuan tidak terhormat.

“Namun saya tidak peduli dengan semua itu. Yang penting saya dipanggil untuk menghibur,
saya akan menghargai panggilan itu,” ucapnya datar.

Hasilnya, Mak Copong berhasil membuka pikiran dan hati sebagian masyarakat yang
sebelumnya sering mencemoohnya. Dia bahkan berhasil memperlihatkan eksistensinya sebagai penari
primadona dan masuk dalam deretan penari berkelas tanah air.

Saat ini boleh dikata, dari enam penari tradisional Makassar, tinggal dia seorang yang tersisa
dan tetap eksis menghidupkan khazanah budaya nusantara. Lima orang sahabatnya -- satu orang telah meninggal-- memilih berhenti menjadi penari dan menekuni dunia baru.

“Katanya mereka malu. Apalagi, usianya sudah tua semua. Sama seperti saya ini,” kata Mak

Coppong mengenang rekan-rekan seprofesinya dulu.

Berkat “kepala batu” sekaligus “tebal muka”nya itu, Mak Coppong mampu mengangkat tarian

tradisional Pakarena dengan 12 jenisnya – Sambori’na, Mabbiring Kassi, Sonayya, Lambassari,
Digandang, Jangan Lea-lea, Yolle atau tari raja, Angka Malino, Lekoboddong, Anni-anni, Biseang I Lau, dan Sanro Beja-- menjadi terkenal ke seantero penjuru dunia.

Pelan tapi pasti, tarian Mak Copong mulai diapresiasi masyarakat dunia. Apalagi setelah dia

setelah bergabung di Sanggar Batara Gowa. Mak Coppong pun berubah menjadi “selebriti” tari yang pentas di mana-mana.

Ia banyak diundang ke berbagai kota, provinsi, dan negara. Puncaknya, ketika ia ikut
tergabung dalam pementasan naskah I Lagaligo dari tahun 2002-2006 di Asia, Eropa, dan Amerika.

Saat tampil di Eropa dan Amerika, Mak Coppong yang tetap lugu laiknya orang kampung, sempat

menyedot perhatian penikmat tari tradisional. Maklum, dia tetap mampu mempertahankan “keasliannya“ sebagai penari tradisional; sederhana namun bersahaja.

Seiring dengan itu, sederet penghargaan pun berhasil diraiahnya. Antara lain Anugerah Seni

dari Dinas Pariwisata Sulsel (2000), Penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya RI (1999), serta yang terkini, dinobatkan sebagai maestro tari tradisi asal Sulsel.

Meski mendapat predikat itu, Mak Coppong tak pernah merasa puas. Di usianya yang kian

uzur, nenek dari delapan cucu ini masih terus menari. Untuk mempertahankan tradisi itu, ia mengajak seluruh keluarga, anak, kemenakan, dan cucu-cucunya untuk menari.

Meski diakui tidak ada perhatian dari pemerintah Kabupaten Gowa terhadap dirinya, namun

hal itu tidak menjadi penghambat. Sebab dalam hati Mak Coppong tertanam satu tekad dan keyakinan bahwa “kekayaan” yang dimilikinya sekarang tak bisa dinilai dengan benda apapun.

Jumat, 09 Januari 2009

Maestro Kesenian Tradisional asal Sulsel [tiga]


Abdikan Hidup Lewat Tabuhan Gendang

SERANG Dakko, penabuh gendang papan atas di daerah ini. Bersama Mak Coppong, lelaki yang akrab disapa Dg Serang, itu juga dinobatkan sebagai maestro kesenian tradisional asal Sulawesi Selatan.

****

SUASANA areal rumah adat Benteng Somba Opu, sudah diselimuti keremangan. Bias cahaya matahari, hanya menyisakan rona jingga di ujung awan sebelah barat. Sebuah lampu jalan pun mulai menerangi bentangan pavinblok yang mengarah ke lokasi situs sejarah tersebut.

Tepat di depan Tongkonan,--rumah adat Tana Toraja--penulis menghentikan kendaraan. Di tempat, sebuah rumah panggung plus panggung pertunjukan tempat kediaman Dg Serang, maestro kesenian tradisional dengan instrumen gendang. Sebelumnya, penulis telah mengatur janji untuk bertemu dan mengutarakan perihal kedatangan.

Saat ditemui, Dg Serang baru saja menunaikan salat magrib. Beberapa keluarganya, tampak berada di bagian belakang rumah. Mata penulis langsung tertuju pada deretan gendang berbagai ukuran yang berada di belakang kursi sofa milik tuan rumah.

Tanpa berbasa- basi, Dg Serang langsung membuka perbincangan setelah mengecilkan volume televisi 21 inci di ruang tamu.


“Gendang sudah menjadi teman hidup yang sangat akrab. Sangat banyak pengalaman menarik yang saya dapatkan lewat alat musik tradisional ini,” ujar Dg Serang.


Mata Dg Serang menerawang. Kisah masa lalu terputar kembali. Dilahirkan di Desa Kalaserena, Kabupaten Gowa pada 1939. Belajar menabuh gendang saat masa penjajahan Belanda. Usianya masih kanak-kanak, waktu itu.

Secara alami, bakat menabuh gendang diturunkan oleh
bapaknya. Dg Parincing yang dikenal sangat iawai memainkan alat musik itu.

Aktivitas kesenian Dg Serang, terus berlanjut hingga awal kemerdekaan republik ini. Usianya yang memasuki masa remaja kala itu, dihabiskan ikut bersama rombongan ayahnya. Serang remaja, bahkan sudah dipercaya menjadi pengiring Tarian Pakarena yang kerap memenuhi undangan untuk acara pementasan.

“Setiap hari saya diingatkan oleh orangtua untuk serius berlatih menabuh gendang. Katanya, semakin lama berlatih maka aura gendang akan menyatu dengan penabuhnya,” kenang Dg Serang akan nasihat sang ayah.

Belajar secara otodidak, gigih dilakukan Dg Serang. Prinsipnya, tanpa pendidikan formal pun tabuhan gendang akan bisa dikuasai. Intinya telaten berlatih. Dan, benar saja. Dalam waktu beberapa tahun, ia sudah piawai memainkan alat musik khas Makassar itu.

Pada 1960-an, beberapa seniman Sulsel turut berlatih pada ayahnya. Salah satunya adalah Nani Sapada dan Paselleng. Pertemuan itulah yang membuat Dg Serang kian melejit dengan kariernya. Ia dipercaya menjadi pengiring tari-tari Nani Sapada dalam berbagai pertunjukan yang berskala besar.

“Waktu itulah saya mulai menginjakkan kaki di luar negeri. Saya tidak pernah membayangkan hal itu,” ujarnya polos.


Meski mengaku menyerahkan hidup dan matinya pada gendang, namun perasaan Dg Serang untuk berkeluarga selalu membara. Akhirnya, ia mempersunting seorang “bunga desa” bernama Dg Baji. Saat itu, usia Dg Serang menginjak angka 32 tahun.


Untuk menghidupi keluarganya, Dg Serang hanya berharap welas asih dari penduduk yang menggelar pesta pernikahan atau sunatan. Dari tabuhan gendang itu, ia mampu mencarikan nafkah bagi keluarga.


“Kesenian telah membentuk saya untuk selalu gembira menghadapi kehidupan. Saya tidak pernah mengeluh dan menjalani hidup apa adanya,” tandasnya.

Dari hasil perkawinannya dengan Dg Baji, Dg Serang dikarunia empat anak. Mereka, adalah Cece, Indrawati, Irwan, dan Arianto. Sayangnya, tak satupun dari keempat anaknya tersebut yang dilihat langsung oleh Dg Serang saat dilahirkan.

Lagi-lagi, profesi menabuh gendang telah “merenggut”semuanya, meski itu hanya sekadar menemani istri tercinta menyabung nyawa saat melahirkan. Saat anak pertama dan kedua lahir, Dg Serang mengaku berada di Thailand dan Singapura. Sedangkan, pada saat anak ketiga dan keempatnya dilahirkan, master gendang ini sedang menggelar “konser” di Bali dan Jakarta. (ber

Maestro Kesenian Tradisional Sulsel [empat-selesai]

Digelari Bapak Gendang Dunia, Diabaikan Tim I Lagaligo

PENGALAMAN menabuh gendang sejak kecil membawa Dg Serang melanglang buana ke luar negeri. Hasilnya, oleh orang-orang “asing” itu, dia dianugerahi gelar “Bapak Gendang Dunia”. Padahal, di negeri sendiri, dia pernah dicampakkan.

*****

Luar biasa! Kata itu yang terlintas dalam benak penulis saat bertemu Dg Serang. Betapa tidak, gendang telah menjadi “istri” pertama baginya. Boleh jadi, dalam pikiran Dg Serang, “bersetubuh” dengan gendang adalah kenikmatan yang tiada taranya.


Untung saja, Dg Baji, perempuan yang dinikahinya tidak pernah cemburu, meski harus “diduakan”. Sebaliknya, mampu memahami kehidupan suaminya. Dg Baji tetap tabah. Bahkan, tidak henti-hentinya memberikan support dan motivasi agar Dg Serang, sang suami tercinta, terus menekuni kariernya.

“Ia perlu dorongan dari keluarga dan di situlah peran saya sebagai pendamping hidupnya,” tutur Dg Baji.

Spirit itulah, Dg Serang bebas melakoni profesinya. Iapun mengakui dukungan keluarga modal terbesar menjaga “warisan” tersebut.

Saat melawat ke beberapa negara, Dg Serang tampil memukau. Di Hongkong ia mengikuti pagelaran yang disebut Tunrung Rincing --sejenis rampak gendang-- yang diikuti para jawara gendang dari berbagai belahan dunia.

Di antaranya, India, Swiss.
Di tempat ini, Dg Serang tampil all out. Kelihaiannya menabuh gendang mampu membuka “mata” dunia. Saat itulah pula ia langsung digelari “Bapak Gendang Dunia”.

Mendapat gelar itu, Dg Serang bukannya berbangga hati. Menurutnya, pengakuan bukanlah akhir dari titian karier. Ia tidak butuh pengakuan. Namun butuh apresiasi seni tradisional perlu mendapat perhatian untuk terus dikembangkan.

Lagipula, meski mendapat pengakuan dunia, tidak memuluskan jalan Dg Serang di daerahnya sendiri. Hal itu terlihat saat adanya proyek pementasan naskah Sureq I Lagaligo di luar negeri.


Casting tim yang digelar penyelenggara tidak mampu meloloskan penabuh senior ini. Padahal, para penabuh yang diikutkan tak lain adalah “murid-muridnya”.


“Saya menghormati proses seleksi itu. Tak diikutkan di Lagaligo bukan berarti saya berhenti menabuh gendang,” ucap Dg Serang sambil mengusap wajah keriputnya.


Dg Serang menilai jika aktivitas kesenian di Makassar sudah tidak sehat lagi. Indikasi saling sikut kiri-kanan beberapa kali dipertontonkan pelaku kesenian. Bahkan, cenderung tidak memikirkan nasib dan pengembangan kesenian di Makassar.


Kelanjutan kesenian tradisional Dg Serang memasuki babak baru pada tahun 1991. Saat itu, pengelola Pembangunan “Taman Mini” Sulsel, Benteng Somba Opu, Dr Muchlis Paeni meminta dirinya menetap di lokasi itu. Selain mengembangkan kesenian, status Dg Serang juga bertambah sebagai tenaga keamanan.

Di tempat ini, ia lebih leluasa mengembangkan kreativitas seni, sekaligus melatih ilmu dan keterampilan kepada generasi muda yang ingin belajar.
Setahun sebelumnya, ia mendirikan Sanggar Seni Alam.

Nama ini didasari atas personelnya yang terbentuk secara alamiah, tanpa melalui pendidikan formal. Di perkumpulannya yang baru ini, ia mengajar menabuh gendang dan tari klasik Pakarena.

Ia juga merangkul beberapa seniman tua untuk bergabung di sanggarnya. A
lat gendang di rakit sendiri. Itu dilakukan agar bentuk dan ukuran gendang bisa sesuai dengan keinginan.

“Jika gendang tidak sesuai dengan ukuran badan, maka irama dan posisi saat menabuh akan jauh berbeda. Itu juga bisa membuat bagian tubuh sakit seusai pentas,” tuturnya.


Lalu apa yang paling berkesan dalam hidup Dg serang? Ditanya demikian, Dg Serang menundukkan kepala. Sejenak ia mengisap rokok yang baru saja dibakarnya.

“Saya tidak akan pernah lupa saat kunjungan ke Thailand. Di negeri ini saya dan beberapa seniman hampir meninggal,” ucapnya lirih.

Sekiranya, lanjut Dg Serang, rombongan penabuh gendang dan penarih Pakarena tidak cepat meninggalkan Thailand, boleh jadi mereka tidak ditemukan lagi. Pasalnya, hanya sehari setelah meninggalkan negeri Gajah Putih itu, gelombang Tsunami 26 Desember 2004 mengoyak wilayah penginapan rombongan asal Sulsel.

“Saya lihat di televisi, hotel dan lokasi kami pementasan hancur disapu air laut. Saya bersyukur bisa selamat dari bencana menakutkan itu,” ungkapnya.

Luput dari maut itu, menjadikan Dg Serang memetik hikmahnya. Ia meyakini jika sang pencipta telah memberikan petunjuk untuk terus mengembangkan budaya tradisional Sulsel. Hal itulah yang membuat keikhlasannya mengabdikan hidup pada gendang, terus membukit.

Dinobatkannya Dg Serang sebagai maestro kesenian tradisional seakan melengkapi kesempurnaan kesenian Sulsel di Indonesia. Ketelatenan dan komitmen berkesenian membuahkan pengakuan. Dua tokoh daerah ini berhasil mengawinkan gelar maestro. Penari oleh Mak Coppong, dan penabuh gendang oleh Dg Serang.

1 komentar: