Rabu, 30 Desember 2009

PAKARENA

Pakarena, Antara Kelembutan dan Kekerasan

Gowa, di Sulawesi Selatan. Dulunya, Gowa dikenal sebagai sebuah kerajaan maritim yang besar pengaruhnya di perairan nusantara. Dari kerajaan ini muncul seorang pahlawan nasional, yang bergelar Ayam Jantan Dari Timur, Sultan Hasanuddin, yang merupakan Raja Gowa ke-14.

Sisa-sisa kebesaran Kerajaan Gowa, masih terasa hingga kini. Istana Kerajaan Gowa, dulunya, menjadi satu-satunya tempat bagi para penari untuk mempertunjukkan kebolehannya di hadapan raja. Sikap bathin yang hening, penuh kelembutan, meditatif, itulah kesan yang tersirat dari gemulainya gerakan penari ini.

Tari Pakarena yang dibawakan penari ini, adalah tarian khas masyarakat Sulawesi Selatan. Pakarena, dalam bahasa setempat berasal dari kata "karena", yang atinya main. Sementara imbuhan "pa", menunjukkan pelakunya.

Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa, yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa. Dulu-dulunya, pada upacara-upacara kerajaan, Tari Pakarena ini dipertunjukkan di istana. Namun pada perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari hari.

Kelembutan, mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya, yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki, terutama terhadap suami.

Gerakan lembut si penari, sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan, buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip, dilakukan dalam setiap bagian tarian. Sesungguhnya, pola-pola ini memiliki makna khusus.

Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam, menunjukkan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan.

Aturan mainnya, seorang penari Pakarena, tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung, yang memakan waktu sekitar 2 jam. Tidak salah kalau seorang penari Pakarena, harus mempersiapkan dirnya dengan prima, baik fisik, maupun mentalnya.

Dan tidak perlu heran pula, bila sebelum melakukan pertunjukkan, setiap penari harus melakukan upacara ritual adat, yang disebut Jajatang, dengan sesajian berupa beras, kemenyan, dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang pertunjukkan berlangsung.

Mak Coppong, Sang Mpu Pakarena

Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya. Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula yang kemudian enggan melanjutkannya, saat memasuki jenjang pernikahan.

Namun tidak demikian halnya dengan seorang Mak Coppong Daeng Rannu. Perempuan tua, yang kini usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena. Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang Mpu Pakarena.

Mak Coppong, sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan untuk tampil menarikan Pakarena, yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini.

Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang menggambarkan kelembutan perempuan Gowa.

Mak Coppong tak pernah mau ambil pusing dengan bayaran yang diterimanya. Dedikasi penuh pada tarian ini, membuatnya rela menerima sebarapapun besarnya bayaran yang diberikan si pengundang. Padahal, selepas ditinggal suaminya wafat, kehidupannya banyak bergantung pada kesenian yang telah lama diusungnya ini. Namun biasanya, ia menerima bayaran sekitar 500 ribu hingga satu juta rupiah, untuk tampil semalam suntuk, termasuk biaya sewa pakaian dan alat-alat.

Tubuh yang sudah renta termakan usia, kulit yang semakin keriput sejalan perjalanan hidup, tak membuatnya surut dalam berkarya bersama Tari Pakarena. Bahkan untuk membagi kebisaan yang didapat dari ayahnya ini, ia sejak tahun 1978, mengajarkan Tari Pakarena kepada para gadis di kampungnya, di Desa Kampili, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa.

Di rumahnya, yang merupakan rumah panggung khas Gowa, yang disebut Bala'rate, para gadis melangkah, melenggok, menggerakkan tangannya, mengikuti gerak si Mpu Pakarena, Mak Coppong. Saat ini ada 6 gadis yang menjadi anak didiknya. Dan tak sepeserpun, Mak Coppong memungut biaya.

Gundah hati Mak Coppong, amat terasa di saat salah seorang anak didiknya memasuki jenjang pernikahan. Karena biasanya, usai menikah, anak didiknya tak lagi menekuni Tari Pakarena. Sebuah kebiasaan di Gowa, adalah hal yang tabu dan malu, bila seorang perempuan yang telah menikah, tampil di muka umum.

Pandangan umum inilah yang menyebabkan Tari Pakarena, seolah hanya selesai sampai di situ. Padahal tidak demikian buat Mak Coppong.

Dalam benak Mak Coppong, Pakarena adalah tarial sakral, yang tidak semua perempuan mampu menarikannya. Ketekunan dan kesabaran menjadi modal utama buat penari Pakarena. Itulah salah satunya, yang dimiliki Mak Coppong, hingga kini.

Kini, nasib Tari Pakarena, seolah hanya bersandar pada Mak Coppong semata. Selain hanya ia yang paham akan seluk beluk tarian ini, ia pulalah yang tetap setia mengusung tari tradisional yang pernah jaya di masa Kerajaan Gowa dulu.

Musik Gandrang Pakarena Yang Kontroversial

Penari Pakarena, begitu lembut menggerakkan anggota tubuhnya. Sebuah cerminan wanita Sulawesi Selatan.

Sementara, iringan tetabuhan, yang disebut Gandrang Pakarena, seolah mengalir sendiri. Hentakannya yang bergemuruh, selintas tak seiring dengan gerakan penari. Gandrang Pakarena, adalah tampilan kaum pria Sulawesi Selatan yang keras.

Tarian Pakarena dan musik pengiringnya, bak angin mamiri dan gelombang badai. Peran musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian, ia juga sebagai penghibur bagi penonton.

Suara hentakan, lewat empat gandrang, atau kendang, yang ditabuh bertalu-talu, ditingkahi tiupan puik-puik, atau seruling, parapasak, atau bambu belah, dan gong, begitu menggoda penontonnya. Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan tunrung rinci. Maknanya adalah pukulan gemuruh.

Pemain gandrang-lah yang berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan, sepenuhnya bergantung pada pukulan gandrang. Karena itu, seorang pemain gandrang harus sadar bahwa ia adalah pemimpin, dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.

Biasanya, selain jenis pukulan, untuk menjadi tanda irama musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh gandrang, juga menggerakkan tubuh, terutama kepalanya.

Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam tetabuhan gandrang. Yang pertama adalah pukulan tunrung, yaitu pukulan gandrang dengan menggunakan stick, atau ba'bala, yang terbuat dari tanduk kerbau. Dan yang kedua pukulan tumbu, yang dipukul hanya dengan tangan.

Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini, begitu berpengaruh pada penonton. Mereka begitu bersemangat. Seakan tak ingat lagi waktu pertunjukkan, yang biasanya berlangsung semalam suntuk.

Semangat ini pula yang membuat para pemain musiknya semakin menjadi. Mereka seakan trance.

Waktu terus bergulir, hentakan Gandrang Pakarena terus terdengar. Namun entah sampai kapan, Gandrang Pakarena akan terus ada. Nasibnya amat bergantung pada tarian Pakarena sendiri, yang kini masa depannya seolah hanya berada di tangan Mak Coppong. Mudah-mudahan semangatnya tak akan pudar, seiring dengan irama musiknya yang mencerminkan kerasnya lelaki Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar