Rabu, 30 Desember 2009

Penari Tari Tradisional Makassar

Mak Coppong

Nama :

Coppong Daeng Rannu

Lahir :

Desa Kampili,

Kecamatan Pallangga, Gowa,

Sulawesi Selatan (1920)

Penghargaan :

Penghargaan dari Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya untuk dedikasinya melestarikan tari tradisional,(1999)

Anugerah Seni dari Yayasan Kesenian Sulawesi Selatan,(2000)

Penghargaan dari Robert Wilson untuk pentas‘I La Galigo ’(2004)

Piagam penghargaan Seniman Senior Indonesia (Maestro Seni Tradisi) atas prestasi dan pengabdian yang luar biasa dalam melestarikan dan mengembangkan seni tradisi,(2008)

Mak Coppong merupakan anak tunggal dari pasangan Dg. Baco’ dan Ba Iyo, masa kecilnya ia habiskan di Desa Kampili, Kecamatan Palangga, Kab Gowa hingga kini. Selama hidupnya Mak Coppong tidak pernah mengecap bangku sekolah, karena jarak antara sekolah dengan tempat tinggalnya berjauhan.

Menjadi penari, awalnya tak terpikirkan baginya. Hatinya tergugah saat ibunya berkata agar belajar menari sebagai penerus keluarganya yang juga penari. Di usia 10 tahun, ia memutuskan menjadi generasi penerus untuk menekuni tari, terutama tari Salonreng dan Pakarrena. Pakarena adalah tarian khas Makassar kuno yang dulu kerap dipersembahkan di istana dalam acara resmi. Adapun Salonreng juga merupakan tarian Makassar kuno yang sarat nuansa ritual, dan hanya ditarikan pada acara tertentu, semisal upacara mengusir tolak bala.

Gerakan-gerakan Salonreng dan Pakarena yang diajarkan oleh Mosoa Daeng Ola, guru sekaligus kakeknya, dengan cepat ia serap. Pada usia 10 tahun itu juga ia menari untuk pertama kali di Balla Lompoa, Istana Raja Gowa dan selanjutnya ia menjadi penari istana.

Kendati menjadi penari istana, diakui Mak Coppong, hari-harinya banyak dilalui dengan cemoohan tetangga yang harus ia terima hampir setiap hari. Namun keteguhan hatinya untuk menunjukkan bahwa menjadi penari bukan pekerjaan hina, lambat laun mampu membungkam mulut mereka. Terlebih saat ia melebarkan sayap dengan menari di pentas-pentas bergengsi di banyak tempat hingga ke luar negeri dan mendapat penghargaan.

Di tahun 2004, selama tiga bulan ia melanglang buana dari Singapura menuju negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Australia untuk menjadi penari dalam pementasan I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson. Akhir tahun 2006 lalu, dia tampil pada Festival Budaya di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Di usia yang hampir seabad, ia tetap bersemangat menjajaki separuh dari luas bumi demi memperkenalkan khasanah budaya Sulawesi Selatan melalui gemulai gerakannya. Baginya menari adalah panggilan jiwa dan bertekad menekuni terus tarian itu agar seni tradisi suku Makassar tak lenyap tergerus budaya populer. Mungkin ini juga yang membuat dirinya tetap bersemangat menjalani sisa hidup, sembari menularkan ilmu tari pada sedikit orang muda yang tertarik pada seni tradisi.

(Dari Berbagai Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar